
SmartGro – Setelah gempita perayaan Idulfitri, halal bihalal adalah tradisi khas mayarakat Muslim Indonesia di bulan Syawal. Pelaksanannya umumnya dimulai seminggu setelah Idulfitri (lebaran) hingga akhir bulan Syawal.
Bila di awal-awal lebaran mereka mengadakan sungkeman dan saling maaf-memaafkan dengan keluarga dekat, handai tolan, dan tetangga sekitar, maka halal bihalal diadakan untuk skala yang lebih eksklusif.
Misalnya halal bihalal komunitas Jawa, Sunda, Minang, dan lain-lain. Halal bihalal instansi pemerintahan maupun perusahaan swasta. Halal bihalal alumni sekolah dan perguruan tinggi. Halal bihalal keluarga besar, organisasi, perkumpulan, paguyuban, dan seterusnya.
Halal bihalal secara harfiah berarti “halal dengan halal” atau “saling menghalalkan”. Dalam praktiknya, dalam halal bihalal, sekelompok orang (Islam) berkumpul untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling meminta dan memberi maaf agar yang haram menjadi halal.
Sebagaimana tradisi kupatan, halal bihalal adalah tradisi partikular Indonesia yang tidak dijumpai di belahan negara lain. Meskipun secara etimologis istilahnya diambil dari bahasa Arab, namun secara terminolgis, istilah halal bihalal tidak ditemukan dalam budaya kebahasaan masyarakat Arab.
Walaupun namanya mempergunakan bahasa Arab dan telah melembaga di kalangan penduduk Indonesia, tradisi halal bihalal pada zaman Nabi SAW dan juga zaman-zaman sesudahnya tidak didapati. Hingga akhir abad ke-20 pun, baik di negara-negara Arab maupun di negara Islam lainnya, kecuali di Indonesia, tradisi halal bihalal tidak ditemukan. (Ensiklopedi Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994).
Halal bihalal memang merupakan hasil proses budaya masyarakat Islam Indonesia yang diwarnai oleh semangat budaya masyarakat legalistik, fikih oriented, sebagai ciri khas budaya keberagamaan masyarakat tradisional, terutama di Jawa.
Karena itu, istilah dan tradisi halal bihalal bukan saja tidak ditemukan dalam masyarakat Arab, tetapi juga istilah dan tradisi tersebut tidak ditemukan di kalangan masyarakat Islam mana pun, termasuk di kalangan masyarakat Melayu seperti di Malaysia dan Brunei. (Ensiklopedi Islam Indonesia Jilid 1, Penerbit Djambatan, 1992).
Pada realitanya, meskipun tradisi halal bihalal sering terjebak pada sekadar seremoni dan formalitas, tapi halal bihalal bisa menjadi alternatif solusi yang praktis dari kunjungan silaturahmi ke banyak orang, yang tentu membutuhkan banyak waktu.
Dengan menghadiri acara halal bihalal yang diadakan di suatu tempat, seseorang sudah dapat bersilaturahmi dengan banyak orang.
Sejak kapan tradisi halal bihalal memasyarakat di Indonesia? Ensikolpedi Islam Indonesia mencatat, secara historis, tradisi halal bihalal—sebagai bagian dari seremoni keagamaan Hari Raya Idulfitri—menemukan bentuknya yang khas adalah setelah masa kemerdekaan Indonesia.
Karena bagaimanapun, tradisi halal bihalal sangat memerlukan kondisi pendukung, baik sosial budaya, politik, dan ekonomi. Sebagai tradisi baru dalam sistem seremoni keagamaan, halal bihalal mulai berkembang di Jawa dan kemudian menyebar ke seluruh wilayah Nusantara.
Dalam konteks ini, nama KH. Abdul Wahab Chasbullah bisa disebut sebagai tokoh yang memopulerkan sekaligus memasyarakatkan tradisi halal bihalal.
Sejumlah sumber menyebutkan, KH. Wahab Chasbullah, yang dikenal sebagai salah satu tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU), memperkenalkan istilah halal bihalal kepada Bung Karno sebagai bentuk silaturahmi antar-elite politik yang pada saat itu masih diliputi konflik.
Atas saran KH. Wahab Chasbullah, pada Idulfitri tahun 1948, Bung Karno mengundang seluruh tokoh politik datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturahmi yang diberi tajuk “halal bihalal”.
Para tokoh politik itu akhirnya bertemu dalam satu forum. Mereka menyusun kekuatan dan persatuan bangsa ke depan. Sejak saat itu, berbagai instansi pemerintah di masa pemerintahan Bung Karno menyelenggarakan halal bihalal.
Halal bihalal kemudian diikuti masyarakat Indonesia secara luas, terutama masyarakat Muslim di Jawa, hingga kini.
Meskipun tradisi halal bihalal baru populer dan memasyarakat setelah Indonesia merdeka, namun istilah halal bihalal sudah mulai “tersosialisasikan” sejak tahun 1920-an.
Istilah halal bihalal termaktub di Kamus Jawa-Belanda karya Dr. Theodoor Gautier Thomas Pigeaud yang terbit tahun 1938. Dalam kamus yang mulai disusun tahun 1926 atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda itu, terdapat kata “alal behalal” dan “halal behalal”
Kata alal behalal berarti dengan salam (datang, pergi) untuk (memohon maaf atas kesalahan kepada orang lebih tua atau orang lainnya setelah puasa (Lebaran, Tahun Baru Jawa). Sementara halal behalal diartikan sebagai dengan salam (datang, pergi) untuk (saling memaafkan di waktu Lebaran).
Majalah Suara Muhammadiyah—majalah resmi ormas Muhammadiyah, tahun 1926 telah memuat kata “alal bahalal” pada edisi menjelang 1 Syawal 1344. Suara Muhammadiyah edisi No. 5 tahun 1924 (terbit sekitar bulan April) bahkan sudah memuat sebuah artikel yang memasukkan kata “chalal bi chalal”.
Bahkan, sejumlah referensi menyebut, tradisi halal bihalal berakar dari pisowanan yang sudah ada di Praja Mangkunegaran Surakarta pada abad ke-18.
Ketika itu, Raden Mas Said KGPA Arya Mangkunegara I atau yang populer dengan julukan Pangeran Sambernyawa mengumpulkan para punggawa dan prajurit di balai astaka untuk melakukan sungkeman kepada raja dan permaisuri usai perayaan Idulfitri. Pisowanan secara kolektif itu dirasakan lebih efektif dan efisien dari sisi waktu, tenaga, pikiran, dan biaya.
Dari situlah kemudian istilah “halal bihalal” dikenal dan mulai diadaptasi organisasi-organisasi Islam.
Dan meski baru populer dan memasyarakat di Indonesia pascakemerdekaan dan sebelumnya ada Raden Mas Said KGPA Arya Mangkunegara I yang mentradisikan halal bihalal pada abad ke-18, namun dokumen historis menunjukkan tradisi halal bihalal sudah diinisiasi dan diperkenalkan sejak era Walisongo.
Dalam buku Mazhab Dakwah Washatiyah Sunan Ampel (2021) disebutkan bahwa Kanjeng Sunan Ampel disebut-sebut sebagai penggagas yang memperkenalkan tradisi halal bihalal. Narasi ini didukung dua naskah, yaitu naskah primer Babad Cerbon—yang menceritakan tradisi murid dan menantu Sunan Ampel; dan naskah Sajarah Jawa—yang menyebut tradisi dari murid Kanjeng Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati.
Dalam naskah Babad Cerbon disebutkan:
Wong Japara sami hormat sadaya umek Desa Japara kasuled polah ing masjid kaum sami ajawa tangan sami anglampah halal bahalal sami rawuh amarek dateng Pangeran Karang Kemuning.
(Orang-orang Jepara bersama-sama ingin memberi hormat, hingga satu desa memenuhi ruang Masjid Jepara, lalu saling berjabat tangan, berhalal bihalal, mendatangi dan bersilaturahmi dengan Pangeran Karang Kemuning).
Pangeran Karang Kemuning adalah tokoh waliyullah yang berbasis di Jepara, bergelar Pandita Atas Angin atau Sunan Atas Angin. Dia adalah menantu Kanjeng Sunan Ampel karena menikah dengan salah satu putri beliau, Nyai Gede Panyuran atau Manyura. Dia dimakamkan di kompleks makam ayah mertuanya di Ampel, Surabaya.
Sementara dalam naskah Sajarah Jawa disebutkan:
Semana alabuh pateng Ki Samsu ngeli samodra, nutobak paran paranai ing Carebon kawarnaha, Sunan Makedum sira, mring Seh Alul Iman guru wus dangu genpatekan. Seh Alul Iman minta sing[g]ah aneda halal bahalal, anak mas Cirebon mongke ing Kali Sampu [Kali Sampu di Cirebon] halalna.
(Kala berlabuh dari atas perahu bersama Ki Samsu [pemilik perahu yang mengantarkan Kanjeng Sunan Gunung Jati], mengarungi laut, ombaknya landai, tidak keras, menuju Cirebon. Diceritakan Syekh Ahlul Iman atau Syekh Nurjati Cirebon sang guru yang sudah lama dinantikan ingin bertemu dan bertanya kepadanya. Syekh Ahlul Iman meminta Kanjeng Sunan Gunung Jati singgah di tempatnya, untuk berhalal bihalal dengannya. Maka sang guru pun berujar: “Wahai, putra Mas Cirebon yang berdiam di kali Sapu [basis pesantren awal Sunan Gunung Jati], aku halalkan kamu.”)
Penuturan dalam dua naskah itu menunjukkan halal bihalal telah tercetus sejak era Walisongo, hasil ijtihad Kanjeng Sunan Ampel, sang guru ulama-waliyullah itu. Praktik halal bihalal diperkenalkan untuk tujuan khusus yang berintikan upaya saling memaafkan ketika lebaran atau sesudahnya.
Halal bihalal dilakukan secara kolektif, karena dosa-dosa sosial-kolektif umat manusia perlu dimaafkan, agar tercipta kembali suasana hidup rukun dan guyub.
Editor: Abu Fathan
Penulis dan citizen journalist yang menyukai (kajian) Islam, kuliner, dan sejarah.
Mengupas cerita-cerita yang jarang diungkap menyangkut tokoh, tradisi, dan kuliner Grobogan
You cannot copy content of this page