
SmartGro, Grobogan – Soenarto atau Raden Ario Soenarto merupakan Bupati Grobogan yang ke-14 jika dihitung sejak Adipati Martopuro atau Adipati Puger diangkat oleh Susuhunan Amangkurat IV sebagai Bupati Grobogan yang pertama pada 1726.
Adapun jika dihitung sejak pusat pemerintahan Kabupaten Grobogan dipindah ke Kota Purwodadi pada 1864, maka Soenarto adalah Bupati Grobogan yang ke-4.
Sebelum diangkat menjadi Bupati Grobogan, Soenarto merintis karier dengan beragam tingkatan jabatan. Sejak menjadi juru tulis, mantri polisi, asisten-wedana, hingga menjadi wedana.
Koran De Locomotief edisi 15 Januari 1933 mencatat, Soenarto menjadi juru tulis di Purwodadi pada 1892. Lalu dipindah ke Kabupaten Semarang pada 1898, masih sebagai juru tulis.
Tahun 1902, Sunarto sempat diangkat menjadi mantri polisi, lalu pada tahun yang sama diangkat menjadi asisten-wedana Kecamatan Srondol.
Setahun kemudian atau tahun 1903, Soenarto menjadi asisten-wedana di Weleri, Kendal. Lalu tahun berikutnya di Kebonbatur, baru kemudian diangkat menjadi wedana di Singenlor pada tahun 1906.
Soenarto diangkat menjadi bupati Grobogan pada tahun 1909 versi koran De Locomotief. Atau tahun 1908 menurut data yang termaktub di situs resmi pemerintah Kabupaten Grobogan, www.grobogan.go.id. Soenarto menjadi Bupati Grobogan menggantikan pamannya, Adipati Ario Haryokusumo.
Soenarto purna tugas sebagai Bupati Grobogan tahun 1933. Dengan demikian, bila merujuk pada data koran De Locomotief, maka Soenarto menjabat Bupati Grobogan selama 24 tahun. Adapun bila merujuk pada data Pemerintah Kabupaten Grobogan, maka Soenarto menjabat Bupati Grobogan selama 25 tahun.
Saat menjadi Bupati Grobogan, Soenarto menunjukkan kinerja yang baik, bahkan mewariskan gagasan yang monumental.
Salah satu warisan intelektualnya adalah gagasannya yang populer dengan istilah “Trilogi Pedesaan” atau “Trilogi Pembangunan Desa”, di mana di setiap desa harus ada sekolah, lumbung, dan balai desa.
Soenarto telah mulai memperkenalkan ide lumbung desa saat menjadi asisten-wedana di Weleri, Kendal. Ide lumbung desa dia gagas dalam rangka mengantisipasi datangnya masa paceklik.
Dengan adanya lumbung desa, para petani memiliki tabungan padi ketika mereka gagal panen. Padi di lumbung itulah yang kemudian dipakai untuk menghadapi masa paceklik.
Gagasan lumbung desa itu kemudian Soenarto bawa dan terapkan ketika menjadi Bupati Grobogan. Program lumbung desa yang dia cetuskan selain berhasil memperbaiki ketahanan pangan masyarakat desa, juga memperbaiki perekonomian desa.
Pada perkembangannya, lumbung desa selain untuk menyimpan padi, juga menyimpan uang. Saat Soenarto purna tugas sebagai Bupati Grobogan, di setiap desa ada uang tunai dua juta gulden.
Selain lumbung desa, Soenarto juga menggulirkan gagasan sekolah desa sejak awal ia diangkat menjadi bupati. Gagasan ini juga tergolong sukses.
Di akhir masa jabatannya pada 1933, dari 142 desa yang ada di Kabupaten Grobogan, sudah ada 136 desa yang memiliki sekolah desa.
Semasa menjabat bupati, Soenarto juga sangat memperhatikan nasib warganya yang sebagian besar bermata pencaharian petani. Guna mendukung pertanian warganya, Soenarto memberikan bantuan bibit dan pupuk. Warga baru membayarnya jika sudah panen.
Gagasan dan terobosan Soenarto dalam upaya memajukan Grobogan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, diapresiasi oleh pemerintah kolonial.
Priyantono Oemar dalam artikelnya menyebutkan sederet penghargaan yang diberikan kepada Soenarto.
Pada 1913, Soenarto diganjar kenaikan pangkat dengan menyandang gelar “ario”. Lalu pada 1920 mendapat kenaikan pangkat sebagai “adipati”.
Pada 1923, dia bahkan diangkat menjadi perwira Orde Oranye Nassau. Orde Oranye Nassau adalah orde kekesatriaan Kerajaan Belanda yang didirikan oleh Ratu Emma pada tahun 1892.
Pada 1928, Soenarto mendapat penghargaan bintang emas. Lima tahun kemudian, di penghujung masa jabatannya sebagai Bupati Grobogan pada 1933, Soenarto diberi kenaikan pangkat sebagai “pangeran”. Pangkat tertinggi untuk seorang bupati.
Bupati Soenarto juga berhak membawa songsong emas, berupa payung kebesaran berlapis emas.
Menurut koran De Locomotif, songsong emas merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan oleh Pemerintah Hindia-Belanda dan diberikan hanya pada kasus luar biasa. Soenarto adalah satu-satunya bupati yang mendapat penghargaan tertinggi itu.
Setelah tidak lagi menjabat bupati Grobogan, Soenarto menikmati masa tuanya di Kota Salatiga.
Dia meninggal dunia pada Selasa, 21 Januari 1936 karena sakit. Jasadnya dimakamkan di pemakaman Sido Mukti, Desa Ngembak, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Grobogan.
Kiprah dan jasa yang besar tidak lantas menjadikan Bupati Soenarto menjadi tokoh yang dikenang. Padahal gagasan dan kiprahnya bisa menjadi inspirasi bagi kalangan birokrasi dan politik dalam upaya memajukan Grobogan.
Founder Candi Joglo yang juga seorang budayawan, Muhadi, menyayangkan bahwa saat ini masyarakat Grobogan secara umum tidak lagi mengenal sosoknya.
Muhadi juga menyayangkan, selama ini Pemkab Grobogan tidak punya kepedulian mengangkat sosok Soenarto sebagai salah satu tokoh yang memiliki kiprah besar bagi Grobogan khususnya.
Sebagai budayawan, Muhadi mengaku sangat prihatin bahwa dalam rangkaian agenda kegiatan di setiap hari jadi Kabupaten Grobogan pada dekade terakhir, tidak memasukkan makam Bupati Soenarto dalam agenda ziarah.
Keprihatinan Muhadi memang beralasan bila melihat kiprah Soenarto selama memimpin Kabupaten Grobogan. Geliat pembangunan di berbagai bidang sangat kentara terlihat, setidaknya dari foto-foto yang masih bisa kita saksikan.
Meski sosoknya tidak banyak dikenang dan makamnya tidak masuk dalam daftar agenda ziarah setiap peringatan hari jadi Kabupaten Grobogan, namun sejarah telah mencatat dengan tinta emas, kiprah dan jasa besar Soenarto dalam upaya memajukan Kabupaten Grobogan di masa kepemimpinannya.
Editor: Abu Fathan
Penulis dan citizen journalist yang menyukai (kajian) Islam, kuliner, dan sejarah.
Mengupas cerita-cerita yang jarang diungkap menyangkut tokoh, tradisi, dan kuliner Grobogan
You cannot copy content of this page