
Smart Gro – Di Indonesia, pemilu dan pilkada adalah urat nadi demokrasi. Lewat kontestasi elektoral tersebut, rakyat memilih wakil-wakilnya di parlemen, juga para pemimpinnya. Sayangnya, dari pemilu ke pemilu, dari pilkada ke pilkada, selalu menyisakan permasalahan dan ketidakpuasan dalam proses dan tahapan penyelenggaraannya.
Banyaknya anggota legislatif dan kepala daerah yang dicokok KPK, mengindikasikan bahwa pemilu belum menghasilkan wakil rakyat dan kepala daerah sesuai yang diharapkan. Bahkan sudah menjadi semacam pengetahuan umum, sejauh ini proses dan tahapan penyelenggaraan pemilu dan pilkada masih diwarnai isu politik uang (money politic), apatisme masyarakat terkait rekam jejak kandidat, banyaknya pelanggaran pemilu, dan lain sebagainya.
Ragam problematika itu menjadi benang kusut yang tak berkesudahan. Literasi politik, dalam konteks ini, diyakini sebagai salah satu yang diperlukan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pemilu. Bahkan lebih jauh meningkatkan kematangan berdemokrasi.
Apa itu literasi politik? Dan siapa saja yang menjadi target literasi politik?
Secara umum, literasi politik adalah upaya untuk menjadikan setiap warga negara untuk berpartisipasi politik secara kritis dengan membekali diri kemampuan dan kapabilitas politik. Dengan kata lain, literasi politik adalah seperangkat kemampuan yang dianggap penting bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan berpartisipasi politik.
Pada umumnya literasi politik berkaitan dengan tiga ketrampilan, yaitu ketrampilan kognitif (cognitive skill), afektif (afective skill), dan ketrampilan konatif atau psikomotorik. Kognitif terkait dengan pengetahuan warga mengenai hal ikhwal politik dan segala hal yang terkait. Tanpa pengetahuan yang cukup, ia berpotensi untuk mudah dimanipulasi atau dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik.
Sementara, keterampilan afektif lebih menonjolkan aspek emosi atau perasaan, misalnya simpati, empati politik, penghormatan atau respek terhadap orang lain, dan sebagainya.
Namun, tentu saja, aspek afektif ini tidak dapat dipisahkan dari aspek pengetahuan politik. Empati atau pembelaan politik diberikan pada kandidat atau politikus secara begitu saja atau karena hubungan dekat, melainkan didasarkan pada pengetahuan politiknya tentang kandidat atau politikus tersebut.
Adapun ketrampilan konatif atau psikomotorik berhubungan dengan bagaimana warga mampu melakukan praktik-praktik politik yang demokratis. Nilai-nilai demokrasi yang ditemukan dalam teori-teori, diwujudkan dalam kehidupan nyata, mulai dari ruang lingkup kecil seperti keluarga, sampai pada ruang lingkup yang lebih besar seperti pemerintah dan negara.
Sehingga siapapun sesungguhnya bisa menjadi sasaran literasi politik. Bahkan, literasi politik seharusnya menjadi komitmen semua orang yang hidup di negara-negara demokrasi. Para elit politik yang terliterasikan dengan baik, misalnya, tentu tidak akan berpikir untuk kepentingan diri dan golongannya saja, melainkan kepentingan negara dan bangsa secara keseluruhan.
Adanya kecenderungan pelanggaran oleh penyelenggara pemilu juga memperlihatkan dengan jelas bahwa mereka belum terliterasikan dengan baik (politically literate).
Buku berjudul Literasi Politik, Dinamika Konsolidasi Demokrasi Indonesia Pascareformasi ini sangat menarik dan kontekstual menjelang ajang pilkada di sejumlah daerah. Di dalamnya, para penulisnya, menghadirkan kajian seputar literasi politik sebagai sebuah tema yang sangat penting terkait konteks politik Indonesia yang sedang mengonsolidasikan demokrasinya pascabergulirnya reformasi pada tahun 1998.
Data buku:
Judul: Literasi Politik, Dinamika Konsolidasi Demokrasi Indonesia Pascareformasi
Penulis : Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si., dkk
Penerbit: Ircisod, Yogyakarta
Cetakan ke-1: Juli 2019
Tebal: 524 hlm
ISBN: 978-602-7696-89-2
Editor: Abu Fathan
Penulis dan citizen journalist yang menyukai (kajian) Islam, kuliner, dan sejarah.
Mengupas cerita-cerita yang jarang diungkap menyangkut tokoh, tradisi, dan kuliner Grobogan
You cannot copy content of this page