
Smart Gro, Grobogan – Nunjungan adalah nama sebuah dusun yang berada di Desa Ketitang, Kecamatan Godong, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Dari dusun inilah, sebuah hidangan kuliner tradisional berbahan mi menyebar ke berbagai daerah. Tercatat, ratusan warga Nunjungan yang menjadi penjual kuliner yang populer bernama “mi tek-tek” itu ke berbagai penjuru daerah, hingga ke Blora, Pati, Kudus, Demak, dan Semarang.
Mie tek-tek boleh jadi nama generik bagi hidangan mi berkuah, ada juga yang versi goreng, yang dijajakan keliling dengan menggunakan gerobak dorong. Nama tek-tek konon berasal dari cara penjualnya yang membunyikan bunyi tek tek tek untuk mengundang pembeli. Bunyi itu diperoleh dari potongan bambu (kentongan) yang diketuk berulang. Sehingga disematkanlah nama “mi tek-tek”.
Hampir di setiap daerah memiliki versi resep mi tek-tek masing-masing. Seperti halnya Dusun Nunjungan yang punya versi mi tek-tek sendiri yang relatif berbeda dengan resep mi Tek-tek dari daerah lain. Mi tek-tek khas Nunjungan berbumbu minimalis meliputi: bawang putih, kemiri, dan mrica. Kuahnya menggunakan kaldu ayam, sehingga tone-nya menjadi sangat gurih.
Seporsi mi tek-tek sudah termasuk lima tusuk sate ayam sebagai pelengkapnya. Sate ayam yang biasa jadi pendamping mi tek-tek, tone-nya gurih manis. Sejak dari rumah penjual, satenya sebenarnya sudah matang dan bisa langsung disantap. Hanya saja, agar lebih sedap, satenya dibakar kembali dengan diberi olesan kecap manis saat ada pembeli.
Cara penyajiannya, mi tek-tek, baik versi kuah atau goreng, ditaruh di atas piring. Lalu lima tusuk sate ayam ditaruh di atasnya. Bagi penyuka pedas level tinggi, disediakan cabai dalam sebuah wadah kecil sebagai ceplusan. Atau bisa request ke penjual, irisan lombok disertakan dalam kuah mi tek-teknya.
Asal-usul Mi Tek-tek Nunjungan
Menurut cerita, mi tek-tek masuk ke Nunjungan dibawa oleh seorang pendatang musiman dari Mranggen (Kabupaten Demak) bernama Mbah Nyaman, pada sekitar tahun 1975. Saat itu, Mbah Nyaman datang ke Nunjungan dan berjualan mi tek-tek hanya saat musim panen padi.
Dari situlah kemudian banyak warga Dusun Nunjungan yang mulai belajar dan mendalami cara membuat mi tek-tek ala Mbah Nyaman. Hingga akhirnya, setelah menguasai, banyak warga Nunjungan yang memilih berjualan mi tek-tek sebagai mata pencaharian. Di samping menggarap sawah bagi yang memiliki sawah.
Saat ini, ratusan warga Dusun Nunjungan berjualan mi tek-tek. Tempat yang menjadi lokus berdagangnya tidak hanya di lokal Kecamatan Godong, namun juga di sudut-sudut strategis di seantero Kabupaten Grobogan. Bahkan juga merambah ke kabupaten lain seperti Pati, Kudus, Demak, dan Semarang.
Di Godong, mi tek-tek menjadi kuliner malam yang cukup ikonis. Bila di pagi hari kuliner ikonisnya adalah sega pager, maka di malam hari, Godong menyuguhkan kuliner mi tek-tek. Karena memang mi tek-tek hanya bisa dijumpai di malam hari. Dimulai dari lepas Maghrib hingga tengah malam.
Otentisitas Cara Masak
Yang khas sekaligus menjadi ciri keunikan dari mi tek-tek khas Nunjungan adalah proses memasaknya yang hingga kini masih mempertahankan secara tradisional menggunakan anglo dan bahan bakarnya menggunakan bara dari arang kayu. Sehingga cita rasanya tetap terjaga otentik, sejak dahulu hingga kini.
Hampir semua, untuk tidak mengatakan semua, penjual mi tek-tek Nunjungan (berjualan di mana pun), menggunakan cara memasak secara tradisional yang otentik seperti itu. Karena hanya dengan cara inilah, cita rasa mi tek-tek dapat dipertahankan kelezatannya. Mereka tahu, kalau beralih memakai kompor gas misalnya, meski lebih praktis, namun cita rasanya akan berbeda. Tingkat kelezatannya akan turun.
Hanya saja, ada satu yang berubah dari mi tek-tek dari awal kehadirannya sekian tahun yang lalu. Bukan pada mi tek-teknya, tapi lebih kepada sate pelengkapnya. Dulu, di awal kehadirannya, sate pelengkapnya menggunakan daging bebek atau entog. Tapi sekarangm hampir semua penjual beralih menggunakan daging ayam, karena dinilai lebih praktis.
Perubahan itu secara relatif memang tidak begitu mengganggu kelezatan mi tek-tek. Sate ayam tetap cocok sebagai pelengkap menikmati mi tek-tek di malam hari. Hanya bagi mereka yang pernah mengalami periode awal kehadiran mi tek-tek, sehingga pernah mengalami lezatnya menyantap mi tek-tek dengan sate bebek atau sate entog, yang merasa ada secuil “romantisme” yang hilang.
Kerinduan untuk menyantap mi tek-tek yang otentik dengan sate bebek atau entog, terkadang membuncah. Begitu sebagian testimoni yang masuk dari para penggemar awal mi tek-tek Nunjungan.
Meski pada awalnya banyak dijajakan secara keliling, namun saat ini lebih banyak penjual mi tek-tek yang memilih berjualan secara mangkal di sebuah tempat. Meski masih ada juga yang tetap bertahan dengan berjualan keliling dengan gerobak dorong.
Memopulerkan Mi Tek-tek Nunjungan
Bagi saya, mi tek-tek Nunjungan adalah sebuah fenomena, di mana hampir semua warga kampung Dusun Nunjungan menjadi penjual mi tek-tek. Fenomena ini serupa dengan yang ada di Desa Tanjungkarang, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus, di mana banyak warganya yang berjualan lentog tanjung—menu sarapan khas desa setempat.
Bahkan di Desa Tanjungkarang telah dibangun sentra Lentog Tanjung sebagai pusat wisata kuliner lentog tanjung. Adanya sentra lentog tanjung menjadikan para penggemar kuliner ini mudah njujug bila menghendaki menyantap kuliner ini saat berada di Kudus.
Selain berjualan di sentra lentog tanjung, para penjual lentog dari Tanjungkarang juga menyebar ke seantero Kudus.
Fenomena serupa lainnya juga ada di Desa Tuyuhan, Kecamatan Pancur, Kabupaten Rembang. Di kampung ini ada kuliner khas yang populer dengan nama lontong tuyuhan. Kuliner ini juga sudah lama punya sentranya, yaitu di tepi jalan desa beraspal jurusan Lasem-Pandan, tepatnya yang melintas di Desa Tuyuhan.
Baik mi tek-tek Nunjungan, lentong tanjung, dan lontong tuyuhan, ketiganya adalah kuliner khas berbasis lokal. Hanya saja, harus diakui, secara popularitas dan branding, lentog tanjung dan lontong tuyuhan sedikit lebih maju. Keduanya telah memiliki sentra dan telah menjadi perbincangan nasional di beberapa buku (juga media massa).
Boleh jadi secara nasional, lentog tajung dan lontong tuyuhan memang telah “diakui” dan “masuk” dalam atlas kuliner Indonesia.
Dalam buku 100 Mak Nyus Jalur Mudik – Jalur Pantura dan Jalur Selatan Jawa (2018), Bondan Winarno memasukkan lentog tanjung dan lontong tuyuhan ke dalam daftar kuliner rekomendasi. Namun, dalam sebuah buku khusus sajian mi yang berjudul 25 Resep Mi Kuah Khas Indonesia yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama (2003) tidak ada menyebut mi tek-tek versi mana pun.
Bahkan di buku karya saya sendiri, Kumpulan Resep Masakan Tradisional dari Sabang sampai Merauke yang diterbitkan Media Pressindo, Jogjakarta (2009), juga saya tak menyebut dan mencantumkan resep mi tek-tek. Resep lentog tanjung ada saya masukkan. Untuk Grobogan hanya swike. Karena begitulah realitas yang ada, ketika buku itu saya disusun, di jagat perkulineran nasional.
Sejauh yang saya tahu, selain buku yang saya sebut di muka, mi tek-tek Nunjungan baru disebut di buku karya Moerdijati Gardjito, dkk yang berjudul Kuliner Semarangan, Menikmati Rasa di Sepanjang Pesisir Utara Jawa, Mencecap Lezatnya Kekayaan Cita Rasanya (2019). Itu karena sejak tahun 2012-an, mi tek-tek Nunjungan mulai diperbincangkan oleh banyak netizen lokal Grobogan di media sosial dan masuk dalam daftar salah satu kuliner khas Grobogan yang diangkat di sejumlah blog.
Secara lokal, mi tek-tek Nunjungan memang sudah diakui dalam lingkup tertentu. Namun secara nasional, mi tek-tek Nunjungan masih harus berjuang merebut posisi. Dari sisi potensi, mi tek-tek Nunjungan—dengan segala kesederhanaannya sebagai kuliner rakyat, layak diakui dan masuk ke dalam atlas kuliner Indonesia.
Dua Dugaan, Dua Ikhtiar
Belum populernya mi tek-tek Nunjungan secara nasional, saya menduga: Pertama; dari sisi nama, nama mi Tek-tek merupakan nama generik yang juga ditemukan di banyak daerah. Misalnya mi tek-tek ala Bandung, Medan, dan Surabaya. Jadi tidak spesifik khas Nunjungan. Sehingga branding-nya menjadi bias. Tidak seperti nama kuliner lentog tanjung dan lontong tuyuhan—yang asal kampung kuliner tersebut melekat ke dalam nama kulinernya.
Maka, barangkali perlu dipertimbangkan melekatkan nama Nunjungan ke mi tek-tek khas Nunjungan agar bisa menjadi diferensiasi dengan mi tek-tek dari daerah lain. Sebutlah dengan lengkap: mi tek-tek Nunjungan.
Kedua; sejauh ini pihak pemerintah, baik level desa, kecamatan, maupun kabupaten, belum memfasilitasi upaya branding atas mi tek-tek Nunjungan. Padahal kuliner ini telah puluhan tahun menjadi tumpuan ekonomi ratusan warganya. Barangkali perlu dipertimbangkan membuat sentra mi tek-tek Nunjungan yang bisa menjadi jujugan wisata kuliner sebagaimana sentra lentog tanjung dan sentra lontong tuyuhan yang ada di kampung masing-masing.
Elok juga bila di depan jalan arah menuju ke Kampung Nunjungan dibuat gapura yang bertuliskan “Selamat Datang di Kampung Mi Tek-tek Nunjungan” seperti di Desa Tanjungkarang, yang di sebuah sudut jalan masuk ke kampungnya dibuatkan Taman Lentog Tanjung, lengkap dengan patung pikulan yang mengingatkan pada sejarah awal lentog tanjung yang dijajakan secara berkeliling.
Semoga dengan ikhtiar seperti itu, kuliner mi tek-tek Nunjungan bisa semakin dikenal khalayak lebih luas lagi, hingga ke pentas nasional. Sehingga bukan tidak mungkin menyedot banyak wisatawan untuk berwisata kuliner ke Nunjungan—menikmati lezatnya hidangan rakyat bernama mi tek-tek langsung dari kampung asalnya.
Penulis dan citizen journalist yang menyukai (kajian) Islam, kuliner, dan sejarah.
Mengupas cerita-cerita yang jarang diungkap menyangkut tokoh, tradisi, dan kuliner Grobogan
You cannot copy content of this page