160 x 600 AD PLACEMENT
160 x 600 AD PLACEMENT

Menyelisik Sejarah Ketupat, Lepet, dan Tradisi Kupatan (2)

SmartGro – Selain terkait dengan puasa Syawal, tradisi kupatan juga memuat makna lain yang terkandung dalam kuliner yang biasa hadir dalam perayaan tersebut.

Ya, tradisi kupatan tidak bisa dilepaskan dari sejoli kuliner ikonis ketupat dan lepet. Oleh Sunan Kalijaga, ketupat dan lepet dijadikan semacam kode untuk menyampaikan pesan filosofis yang sarat nilai Islam.

Ketupat—atau orang Jawa menyebutnya kupat, adalah kuliner berbahan dasar beras yang dibungkus dengan anyaman daun kelapa muda atau janur, umumnya berbentuk prisma segi empat, lalu direbus.

Sedang lepet dibuat dari ketan dan kelapa parut serta diberi garam, dibungkus dengan daun kelapa muda, berbentuk silinder, lalu direbus.

Kedua kuliner ikonis itu ibarat sejoli yang selalu dihadirkan dalam tradisi kupatan. Keduanya diyakini dijadikan Sunan Kalijaga sebagai media menyampaikan ajaran luhur Islam tentang kesadaran personal dan kolektif untuk mewujudkan harmoni sosial.

Ketupat dan lepet mengandung pesan filosofis yang sangat indah yang diformulasi sedemikian padat makna. Sosok Sunan Kalijaga diyakini sebagai inisiator, kreator, sekaligus motor di balik pemaknaan itu.

Filosofi Ketupat dan Lepet

Sejauh ini tak ada dokumen tertulis yang bisa menjadi sumber rujukan pemaknaan filosofis ketupat dan lepet oleh Sunan Kalijaga.

Cerita foklore (tutur) yang banyak ditulis menyebutkan filosofi ketupat dan lepet dinisbatkan kepada sosok Sunan Kalijaga.

Dalam cerita, ketupat atau kupat merupakan akronim dari “ngaku lepat” yang berarti mengaku salah. Sedang lepet merupakan akronim dari “silep rapet” yang berarti kubur rapat.

Pemaknaan ketupat dan lepet seperti itu melambangkan situasi sosial yang harmonis. Secara kolektif, anggota masyarakat saling maaf-memaafkan. Saling meminta maaf (ngaku lepat) dan memberi maaf (silep rapet).

Ngaku salah menunjukkan sikap mengakui kesalahan, menyesali perbuatan salahnya, dan tidak akan mengulangi perbuatannya.

Karena itu ia meminta maaf yang diiringi tekad menjadi pribadi lebih baik, yang bijak dalam bersikap, sehingga tidak mudah menyakiti hati orang lain.

Adapun silep rapet menunjukkan hakikat memaafkan. Silep rapet meniscayakan seseorang memberi maaf kepada orang yang meminta maaf dengan cara mengubur kesalahan itu dalam-dalam.

Tak akan pernah diungkit-ungkit lagi. Bahkan ia sudah terhapus dalam hati.

Pemaknaan seperti itu selaras dengan makna kata maaf dalam doktrin Islam. Menurut pakar tafsir Alquran, Profesor Quraish Shihab, kata maaf berasal dari Alquran al-afwu yang berarti menghapus, karena yang memaafkan menghapus bekas-bekas luka di hatinya.

Masih menurut Profesor Quraish Shihab, bukan memaafkan namanya jika masih tersisa bekas luka di hati dan jika masih ada dendam yang membara dalam hatinya. Boleh jadi ketika itu apa yang dilakukannya baru sampai pada tahap menahan amarah.

Artinya, jika manusia mampu berusaha menghilangkan segala noda atau bekas luka di hatinya, maka dia baru bisa dikatakan telah memaafkan orang lain atas kesalahannya.

Bila diurai, begitu dalam filosofi yang disematkan pada sejoli kuliner ikonis ketupat dan lepet dalam tradisi kupatan. Filosofi itu akan menjadi kunci terwujudnya harmoni sosial bila berhasil dibumikan.

Pemaknaan filosofis ketupat dan lepet seperti itu merupakan warisan kebudayaan yang tak ternilai, yang tentu patut di-uri-uri.

Ketupat dan Lepet, Kuliner Era Hindu-Budha

Lekatnya ketupat dan lepet dalam tradisi kupatan, membuat banyak yang mengira, ketupat dan lepet merupakan kuliner kreasi Walisongo, dalam hal ini Sunan Kalijaga. Sehingga kuliner ini disangka pertama kali muncul di era Kesultanan Demak.

Padahal dokumen historis menyebutkan ketupat dan lepet telah dikenal sejak era Jawa Kuno. Asisi Suharyanto, kreator konten yang konsens dengan sejarah Jawa Kuno menyebut ketupat dan lepet sudah dikenal masyarakat Jawa Kuno ratusan tahun sebelum kerajaan-kerajaan Islam muncul di Jawa.

Antara abad ke-11 hingga 12, menurut Asisi, ketupat sudah disebut di kakawin Ramayana, Kakawin Subhadra Wiwaha, dan Kakawin Kresnayana dari perode Kerajaan Kadiri. Sementara lepet sebagai kuliner tercatat dalam Kakawin Korawasrama diduga dari masa Kerajaan Majapahit.

Ni Made Yuliani dan I Ketut Wardana Yasa dalam buku Makna Ketipat dalam Upacara Telung Bulan di Denpasar (2020) menyebutkan, ketupat telah diperkenalkan sejak zaman Hindu-Budha.

Penyebutan kupat, akupat, dan khupat-kupatan tercantum dalam Kakawin Kresnayana, Kakawin Subhadra Wiwaha, dan Kidung Sri Tanjung.

Sebagai negeri agraris pada zaman Hindu-Budha, ketupat merupakan bagian dari bentuk pemujaan terhadap Dewi Sri. Dewi Sri adalah dewi tertinggi dan terpenting bagi masyarakat agraris, salah satunya di Nusantara.

Pada perkembangannya, terjadi desakralisasi dan demitologisasi terhadap Dewi Sri yang tidak lagi dipuja sebagai dewi kesuburan dan pertanian, tetapi hanya sebagai lambang dengan dipresentasikan dalam bentuk ketupat.

Hingga akhirnya, ketupat merupakan perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Bila ketupat dan lepet telah dikenal masyarakat Jawa Kuno, maka posisi Sunan Kalijaga sebagai wali dan pendakwah yang kreatif, berperan mengkreasi dan memanfaatkannya sebagai bagian dari strategi dakwah.

Kupat dan lepet diformulasi dan dikontekstualisasi dengan pemaknaan baru, dengan makna dan filosofi yang sarat nilai Islam, kemudian memanifes menjadi tradisi kupatan yang masih lestari hingga kini. (selesai)

Editor: Abu Fathan

Penulis dan citizen journalist yang menyukai (kajian) Islam, kuliner, dan sejarah.

Anda Mungkin Juga Menyukainya
Telah terbit buku GROBOGAN UNTOLD STORY

Mengupas cerita-cerita yang jarang diungkap menyangkut tokoh, tradisi, dan kuliner Grobogan

Promo Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau !

You cannot copy content of this page