
Smart Gro, Grobogan – Grobogan memang layak mengusung slogan Scret of Java. Banyak “rahasia-rahasia” sejarah tersimpan di kabupaten ini. Salah satunya adalah jejak leluhur Presiden Indonesia ke-4, KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Adalah Kiai Khoiron, kakek buyut Gus Dur, yang diketahui makamnya terdapat di Desa Ngroto, Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan.
Makam Kiai Khoiron berada di pemakaman umum Desa Ngroto, tak jauh dari makam Syekh Sirajuddin, ulama asal Jawa Timur yang berjasa mengembangkan syiar Islam di Desa Ngroto. Syekh Sirajuddin juga adalah guru Kiai Khoiron.
Bagaimana bisa Kiai Khoiron, kakek buyut Gus Dur itu sampai dan menetap di Desa Ngroto hingga wafatnya? Pemerhati sejarah lokal Grobogan, Heru Hardono atau yang akrab disapa Mbah Bejo, menuturkan kisahnya kepada saya.
Menurut Mbah Bejo, kisah dimulai dari seorang anak muda bernama Khoiron yang berasal dari Tingkir, Salatiga. Ia datang ke pedukuhan Ngroto ketika itu dalam rangka menimba ilmu alias nyantri.
Ia diterima sebagai santri di pesantren yang ada di pedukuhan Ngroto yang saat itu diasuh oleh Syekh Sirajuddin. Khoiron dikenal sebagai seorang santri yang menonjol berkat ketekunannya mengaji. Ia juga dikenal sebagai santri paling pandai di antara santri yang lain.
Selepas menamatkan mengajinya, Khoiron dipercaya ikut membantu mengajar dan menyiarkan Islam di pedukuhan Ngroto. Khoiron pun mulai dikenal sebagai seorang kiai dengan banyak warga yang menimba ilmu kepadanya.
Menurut cerita, karena tubuhnya pendek dan kecil, yang dalam bahasa Jawa disebut gering, banyak warga yang kemudian memanggilnya dengan julukan “Kiai Gareng” atau “Mbah Gareng”.
Sejak menjadi kiai dan ikut menyiarkan Islam di pedukuhan Ngroto, jadilah Kiai Khoiron alias Kiai Gareng menetap di Ngroto dan menikahi seorang gadis Ngroto. Dari pernikahannya itu, lahirlah Asngari dan Asy’ari.
Sejak kecil, kakak beradik itu dididik sendiri oleh Kiai Khoiron dalam hal pendalaman ilmu-ilmu agama. Kiai Khoiron berharap kelak keduanya menjadi kiai atau ulama yang mumpuni.
Setelah belajar mengaji kepada ayahnya, salah seorang putra Kiai Khoiron yang bernama Asy’ari, memilih meneruskan memperdalam ilmu agama ke luar daerah. Jawa Timur menjadi pilihan Asy’ari.
Saat itu, Asy’arti merantau dan diketahui memperdalam ilmu agama di daerah Tuban dan kemudian menetap di Jombang.
Dari Asy’ari inilah, menurut Mbah Bejo, kemudian lahir seorang anak bernama Hasyim, yang kelak dikenal dengan nama Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari dan dikenal sebagai tokoh pendiri salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU).
Silsilahnya berlanjut, KH. Hasyim Asy’ari menurunkan Abdul Wahid alias KH. Abdul Wahid Hasyim yang kelak dikenal sebagai tokoh besar NU yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama di era Presiden Sukarno.
Selanjutnya, KH. Abdul Wahid Hasyim menurunkan Abdurrahman Ad-Dakhil, yang kelak dikenal dengan nama KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Presiden Republik Indonesia ke-4.
Sementara itu, Asngari, putra Kiai Khoiron yang lain, memilih tetap tinggal di Ngroto. Asngari menurunkan anak bernama Baedlowi, yang kelak menjadi lurah alias Kepala Desa Ngroto yang pertama.
Kemudian Baedlowi menurunkan Kiai Sukemi. Lalu Kiai Sukemi menurunkan Kiai Zuhri alias Mbah Zuhri, yang kelak dikenal sebagai seorang ulama kharismatik yang bermukim di Desa Kuwaron, Kecamatan Gubug.
Kiai Khoiron sendiri, menurut cerita Mbah Bejo, diriwayatkan mengabdikan hidupnya mengajar mengaji dan menyiarkan Islam di Desa Ngroto hingga wafatnya. Makam Kiai Khoiron bisa dijumpai di pemakaman umum Desa Ngroto.
Semasa hidup, Gus Dur pernah berziarah ke makam leluhurnya itu. Dan pada akhir September 2019, putri Gusdur, Yenni Wahid, juga sempat berziarah ke makam Kiai Khoiron selepas menghadiri acara pengajian akbar di Alun-alun Kota Purwodadi yang diadakan PC Muslimat NU Kabupaten Grobogan.
Selain silsilah yang disampaikan oleh Mbah Bejo, saya juga menemukan versi lain terkait silsilah leluhur Gus Dur itu.
Dari buku Jejaring Ulama Diponegoro: Kolaborasi Santri dan Ksatria Membangun Islam Kebangsaan Awal Abad ke-19 (2019) karya Zainul Milal Bizawie diketahui bahwasannya nama ayah Kiai Asy’ari adalah Kiai Abdul Wahid. Jadi bukan Kiai Khoiron.
Zainul Milal Bizawie menyebutkan bahwa Kiai Abdul Wahid atau Pangeran Gareng mendirikan pesantren di Ngroto Grobogan yang saat itu masih wilayah Demak. Putranya, Kiai Asy’ari, lahir di Demak, Jawa Tengah, sekitar tahun 1830.
Zainul Milal Bizawie juga menyebutkan, Kiai Abdul Wahid menjadi komandan pasukan Pangeran Diponegoro di bawah panglima senior Alibasyah Prawirodirdjo. Nasab Kiai Asy’ari merujuk hingga ke Pangeran Benowo bin Jaka Tingkir (Sultan Pajang).
Versi lainnya lagi, sebagaimana diungkap oleh Ainul Yaqin dan Muhammad Malik dalam artikel berjudul Menyelisik Identitas Buyut Gus Dur (2020) menyebutkan, antara Kiai Asy’ari dan Kiai Abdul Wahid terdapat nama Abu Sarwan.
Dengan begitu, Asy’ari adalah putra Abu Sarwan, bukan Abdul Wahid.
Jadi, jika dirunut, bisa disebutkan “Kiai Asy’ari bin Abu Sarwan bin Kiai Abdul Wahid”. Sehingga menimbulkan kemungkinan bahwa Abu Sarwan adalah nama lain dari Mbah Gareng.
Di sisi lain, ditemukan makam buyut Gus Dur lainnya lagi di Tingkir, Salatiga. Sekitar tahun 2000-an, makam tersebut ditemukan, lalu disematkan oleh masyarakat sebagai makam Mbah Abdul Wahid.
Tetapi, sejauh penelusuran, Abu Sarwan juga berasal dari Tingkir Salatiga, sebagaimana asal Mbah Gareng yang telah dijelaskan sebelumnya.
Hal ini semakin bertepatan kalau Mbah Gareng merupakan Pangeran Gareng sebagaimana yang disebut Zainul Milal Bizawie. Ditambah lagi, dalam buku Jejaring Ulama Diponegoro, Zainul Milal Bizawie juga menyebutkan bahwa Pangeran Gareng atau Kiai Abdul Wahid pernah mendirikan pesantren di Ngroto Grobogan.
Sehingga dari ragam nama-nama yang muncul dalam silsilah leluhur Gus Dur itu, menurut analisis saya, nama Khoiron, Abdul Wahid, Abu Sarwan, dan Mbah Gareng atau Pangeran Gareng, sesungguhnya merujuk pada satu sosok yang sama.
Kesimpangsiuran semacam ini boleh jadi, sebagaimana disebutkan Ainul Yaqin dan Muhammad Malik, faktornya adalah bahwa Abdul Wahid yang dikenal sebagai Pangeran Gareng pernah ditangkap oleh Belanda dan diasingkan.
Beliau melarikan diri dari kejaran Belanda dan menyamar dengan berganti-ganti nama. Sehingga sulit diketahui nama asli dan asal-usulnya.
Lalu, siapa sebenarnya nama leluhur Gus Dur yang terdapat di makam Tingkir, Salatiga?
Juru kunci makam Mbah Abdul Wahid di Tingkir (Salatiga), Sadzali Marjan, dalam sebuah wawancara dengan rombongan peziarah sebagaimana dalam rekaman video yang diunggah di platform YouTube oleh channel Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (15 Novermber 2021) menyebutkan, Abdul Wahid yang makamnya ada di Tingkir, Salatiga, adalah ayah dari Mbah Khoiron alias Mbah Gareng yang makamnya ada di Ngroto. Sadzali Marjan juga menyebutkan bahwa Mbah Gareng itu dikenal juga dengan nama Abu Sarwan dan Khoiron.
Di kesempatan lain, Sadzali Marjan (Tribunjateng.com, 6/1/2023) menyebutkan, makam Mbah Abdul Wahid yang ada di Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga, merupakan salah satu keluarga KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Mbah Abdul Wahid merupakan salah satu pasukan telik sandi pada Perang Jawa sekitar tahun 1825 dan ditempatkan di Salatiga.
Masih menurut Sadzali Marjan, Mbah Abdul Wahid bergabung dengan laskar yang dipimpin oleh Kiai Modjo. Mbah Wahid ditugaskan memata-matai pergerakan Belanda di Salatiga dan cukup lama ikut dalam perang melawan penjajah.
Mbah Wahid direkrut oleh Kiai Modjo yang ditugasi oleh Pangeran Diponegoro untuk merekrut kiai ngaji, warga, untuk laskar pangeran Diponegoro. Mbah Abdul Wahid sendiri berasal dari Kabupaten Boyolali dan karena beliau ditugaskan sebagai mata-mata, keluarga Mbah Abdul Wahid tidak diajak ke Salatiga.
Namun, Sadzali Marjan mengaku, warga sekitar mengenal Mbah Abdul Wahid sebagai Mbah Maksum. Nama Mbah Wahid sendiri, menurutnya, baru dikenal 20 tahun ke belakang berdasarkan catatan dari keluarga Pondok Tabu Ireng, Jombang.
Namun, silsilah yang disampaikan oleh Sadzali Marjan bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh KH. M. Ishom Hadziq, salah seorang cucu KH. Hasyim Asy’ari.
Menurut KH. M. Ishom Hadziq, sebagaimana dikutip oleh Fathoni Ahmad dalam artikel berjudul Sosok Kiai Asy’ari, Ayahanda Hadratussyekh Hasyim Asy’ari (NU Online, (17/2/2020), ayah Kiai Asy’ari bernama Abdul Wahid bin Abdul Halim. Abdul Wahid merupakan salah seorang komandan pasukan Diponegoro yang menggunakan nama “Pangeran Gareng” di bawah Panglima Sentot Alibasyah Prawirodirdjo.
Dari situ, menurut analisis saya, makam yang ada di Tingkir Salatiga adalah makam Abdul Halim—bila memang dinisbatkan dengan nasab Gus Dur. Bukan Abdul Wahid sebagaimana yang disematkan.
Rujukan lain berdasarkan ceramah KH. Ahmad Muwafiq alias Gus Muwafiq, seorang ulama muda NU dari Yogyakarta yang juga dikenal sebagai seorang pengkaji sejarah Islam Nusantara.
Dalam sebuah kesempatan mengisi pengajian di sebuah desa di Boyolali, Gus Muwafiq sempat menyampaikan runutan silsilah keilmuan Mbah Gareng atau Mbah Khoiron.
Menurut Gus Muwafiq, Mbah Asy’ari belajar ke Mbah Khoiron atau Mbah Gareng. Lalu Mbah Khoiron belajar ke Mbah Abdul Halim. Maka, dari sini, nampak sangat berkesinambungan dan menemukan benang merah bahwa Asy’ari adalah putra Abdul Wahid, lalu Abdul Wahid adalah putra Abdul Halim.
Dengan demikian, menjadi lebih jelas dan logis dengan runtutan silsilah berikut: Abdu Halim menurunkan Khoiron alias Abdul Wahid alias Abu Sarwan alias Mbah Gareng alias Pangeran Gareng, lalu menurunkan Asy’ari, lalu menurunkan Hasyim, lalu menurunkan Wahid, lalu menurunkan Abdurrahman Ad-Dakhil (Gus Dur).
Kendati demikian, silsilah ini hanyalah analisis ringan saya merujuk pada sejumlah sumber yang ada, yang tentu butuh analisis dan penelusuran lebih mendalam dari para ahli. Sehingga didapatkan silsilah yang lebih valid dan otentik. Wallahu a’lam.
Editor: Abu Fathan
Penulis dan citizen journalist yang menyukai (kajian) Islam, kuliner, dan sejarah.
Mengupas cerita-cerita yang jarang diungkap menyangkut tokoh, tradisi, dan kuliner Grobogan
You cannot copy content of this page