160 x 600 AD PLACEMENT
160 x 600 AD PLACEMENT

Menggali Fakta Sejarah: Jaka Tarub Tidak Menikah dengan Bidadari?

Lukisan yang menggambarkan legenda Jaka Tarub dan Tujuh Biadadari. (Smartgro/istimewa)

SmartGro, Grobogan – Salah satu legenda yang sangat populer yang dikaitkan dengan kisah Jaka Tarub atau Ki Ageng Tarub adalah legenda pernikahannya dengan bidadari.

Sebagai sebuah legenda, kisah Jaka Tarub menikah dengan bidadari seolah tidak menyimpan problem. Problematis muncul ketika di kehidupan nyata, sosok Ki Ageng Tarub diyakini oleh sebagian umat (Islam) sebagai seorang aulia, yang makamnya diziarahi oleh para peziarah dari berbagai daerah, dengan berbagai tujuan dan kepentingan.

Bahkan para peziarah meyakini Ki Ageng Tarub merupakan sosok waliyullah dan penyebar agama Islam sebagaimana para wali dalam korp dakwah Walisongo.

Sedang di sisi lain, publikasi diri dan kisah hidupnya sejauh ini tidak jelas karena tak lebih dari kisah legenda yang lebih banyak diliputi mitos ketimbang fakta historis.

Sejumlah pertanyaan seperti benarkah Jaka Tarub mencuri selendang dan benarkah Jaka Tarub menikah dengan bidadari, sampai sekarang masih menyisakan pertanyaan krusial yang tak kunjung menemukan jawabannya.

Mempertanyakan Jaka Tarub Menikah dengan Bidadari

Ketika saya berkesempatan wawancara dengan juru kunci makam Ki Ageng Tarub, KRAT Hastono Adinagoro, bertahun lalu, saya mendapatkan keterangan bahwa Jaka Tarub tidak mencuri selendang salah satu bidadari. Alasannya, karena kata “mencuri” memiliki konotasi negatif.

Sayangnya, saya tidak mendapatkan penjelasan lebih lanjut dari juru kunci, bagaimana alur cerita Jaka Tarub bisa menikah dengan bidadari bila ia tidak mengambil selendangnya sebagaimana yang terdapat dalam cerita legenda.

Ketika fragmen “mencuri selendang” dihilangkan dari kontruksi cerita sebagaimana dalam legenda Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari yang sudah sangat masyhur, maka alur baru harus direkontruksi agar ceritanya menjadi runtut dan tidak melompat.

Karena, saat saya tanyakan terkait kebenaran Jaka Tarub menikah dengan bidadari, juru kunci menjawab dengan tegas: “benar”—sembari menyebutkan hal itu sebagai karamah yang dikaruniakan kepada Ki Ageng Tarub oleh sebab kemuliaannya.

Hemat saya, apabila kita kritis, dalam tinjauan syariat Islam, manusia menikah dengan bidadari di kehidupan dunia merupakan sesuatu yang tidak akan pernah ada.

Menurut Islam, bidadari hanya ada di surga kelak di kehidupan akhirat. Di dalam Alquran, kata “bidadari” sering digunakan untuk menunjukkan seorang wanita berparas jelita yang dipersiapkan Allah untuk penghuni surga.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah menjelaskan, jika bidadari turun ke bumi, ia akan menyinari seluruh langit dan bumi serta memenuhinya dengan aroma yang harum semerbak.

“Sekiranya salah seorang bidadari surga datang ke dunia, pasti ia akan menyinari langit dan bumi dan memenuhi antara langit dan bumi dengan aroma yang harum semerbak. (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis sahih ini menyiratkan kemustahilan penduduk bumi menikah dengan bidadari.

Sepanjang sejarah para nabi dan rasul serta para sahabat—yang mereka semua berkedudukan lebih mulia—tak pernah ada yang mendapatkan anugerah menikah dengan bidadari, kecuali jaminan masuk surga kelak di akhirat.

Kenapa makna bidadari harus diletakkan dalam konteks syariat Islam? Karena pada kehidupan nyata, sosok Jaka Tarub—yang ketika dewasa dikenal sebagai Ki Ageng Tarub—disebut-sebut sebagai seorang aulia dan penyebar agama Islam, sehingga makna “bidadari” dalam kisah kehidupannya juga haruslah diletakkan dalam tinjauan syariat Islam.

Di luar tinjauan syariat islam, dalam sejarah peradaban modern, manusia menikah dengan bidadari dari kahyangan merupakan sesuatu yang absurd dan sulit diterima nalar.

Kisah Jaka Tarub terjadi di era Kerajaan Majapahit, di mana ketika itu peradaban sudah sangat maju. Sehingga peristiwa manusia menikah dengan bidadari dari kahyangan seperti itu tidak bisa diterima nalar dan, menurut saya, ahistoris. Kecuali diterima sekadar cerita mitologis atau cerita yang bersifat simbolis.

Jaka Tarub Tidak Menikah dengan Bidadari

Sayangnya, sulit mendapatkan sumber data yang valid untuk memvalidasi dan memverifikasi kisah Jaka Tarub dan pernikahannya dengan bidadari.

Sejauh ini belum ada data valid, apalagi tertulis, yang bisa dirujuk, kecuali kisah yang dituturkan oleh Damar Shashangka dalam novel sejarahnya yang lain. Dalam Sabda Palon: Tonggak Bumi Jawa (2015), Damar Shashangka mengisahkan kisah Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari yang sebenarnya.

Menurut sejarawan muda asal Malang ini, Dewi Nawangwulan adalah seorang perempuan berdarah Jawa-Sunda. Ia manusia biasa, bukan bidadari, namun memiliki paras yang cantik bak bidadari.

Dikisahkan, suatu ketika, ada tujuh gadis berparas cantik dari Prahyangan—bukan kahyangan—yang datang ke Tarub. Mereka diantar oleh beberapa laki-laki. Mereka bertujuh adalah putri dari tiga brahmana yang tinggal di Prahyangan: Danghyang Ragasuci, Danghyang Langlangwisesa, dan Danghyang Wulungan.

Rara Purwaci dan Rara Asri adalah putri Danghyang Ragasuci. Rara Kencana dan Rara Manik adalah putri Danghyang Langlangwisesa. Rara Cinde, Rarasati, dan Rara Sindhang adalah putri Danghyang Wulungan.

Mereka menuju ke Tarub dengan menempuh jalur laut, bertolak dari Pelabuhan Kelapa (Jakarta sekarang) menuju ke Pelabuhan Simongan (Semarang sekarang).

Dari Simongan mereka berjalan kaki menuju ke Tarub. Sesampai di Tarub, mereka tidak masuk ke Pedukuhan Tarub melainkan memilih berdiam di hutan yang terkenal angker di sebelah selatan pedukuhan.

Kedatangan mereka diendus oleh penduduk Tarub. Orang-orang mulai kasak-kusuk membicarakan adanya para wanita di tengah hutan yang mereka katakan sebagai bidadari karena paras mereka yang cantik dengan tubuh yang sempurna.

Didesak oleh rasa penasaran, Jaka Tarub memberanikan diri masuk ke dalam hutan. Jaka Tarub menemukan mereka sedang mandi di sendang.

Jaka Tarub awalnya juga mengira mereka para bidadari. Tapi setelah mengamati dengan seksama, barulah menyadari bahwa mereka adalah manusia biasa.

Setelah bertemu mereka, Jaka Tarub memperkenalkan diri dengan nama Kidang Telangkas, putra dari janda Akuwu Tarub (Nyi Ageng Kasihan). Mendengar itu, mereka terlihat sangat gembira.

Mereka kemudian memperkenalkan diri dan menceritakan maksud kedatangan mereka ke Tarub. Mereka mengaku, kedatangan mereka ke Tarub atas perintah bapa-bapa mereka yang mendapatkan petunjuk bahwa salah satu dari putri-putri mereka kelak akan menjadi tanah subur bagi bertumbuhnya benih penguasa Jawa.

Mereka diperintah melakukan perjalanan ke Tarub yang disebut sebagai tempat yang amajang wulan tinaruban (di bawah cahaya bulan dan dinaungi tarub).

Dan sesuai petunjuk, ketika mereka tiba di Tarub, mereka tidak diperbolehkan masuk ke pedukuhan, tetapi harus menunggu di tengah hutan. Karena mereka akan didatangi oleh seseorang yang akan memilih salah satu dari mereka untuk diperistri.

Orang yang akan datang itu segesit kidang. Dan orang yang dimaksud itu adalah Kidang Telangkas yang kini sudah ada di hadapan mereka.

Setelah memahami maksud kedatangan mereka, meski merasa aneh, Jaka Tarub alias Kidang Telangkas memilih salah satu di antara mereka. Jaka Tarub memilih Rara Purwaci.

Setelah Jaka Tarub menjatuhkan pilihan, pada hari itu juga rombongan dari Prahyangan pamit.

Nawangwulan Meninggalkan Tarub

Penduduk Tarub pun gempar setelah mengetahui Jaka Tarub membawa pulang seorang wanita cantik dari hutan belantara. Jaka Tarub menyembunyikan jati diri Rara Purwaci dengan alasan, Rara Purwaci adalah putri seorang brahmana, sehingga dalam dirinya juga memiliki warna brahmana.

Dalam aturan Dharmasastra—salah satu susastra Hindu yang berkaitan dengan agama, kewajiban dan hukum, pernikahan antara putri seorang brahmana dengan seorang ksatria yang lebih dekat kehidupannya dengan kehidupan sudra akan menemui banyak kerumitan.

Alasan itu yang membuat Jaka Tarub memutuskan untuk menyembunyikan jati diri Rara Purwaci. Jaka Tarub meminta Rara Purwaci untuk tidak membuka jati dirinya sebagai putri seorang brahmana.

Bahkan Jaka Tarub sendiri bersumpah, bila ia sendiri yang justru melanggar hal itu, disengaja atau tidak, tentang jati diri Rara Purwaci, maka Rara Purwaci boleh meninggalkannya.

Jaka Tarub kemudian memberi nama baru untuk Rara Purwaci: Nawangwulan. Nawang berarti menatap, wulan berarti rembulan. Karena kecantikan Rara Purwaci serupa rembulan yang sangat berkesan ketika dipandang.

Jati diri Rara Purwaci yang disembunyikan dan ketidakjelasan asal-usulnya, menjadikan penduduk Tarub meyakini bahwa Rara Purwaci yang sudah beralih nama menjadi Nawangwulan itu benar-benar seorang bidadari.

Akhirnya Jaka Tarub hidup dengan penuh cinta dan kasih dengan Rara Purwaci hingga melahirkan seorang putri jelita yang diberi nama Nawangsih. Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.

Saat berlangsung panen raya di Pakuwon Tarub, saat ritual pemujaan Bhatara Shri siap dilaksanakan, pandhita satu-satunya di Pakuwon Tarub mendadak meninggal dunia. Padahal menurut kepercayaan mayarakat Tarub ketika itu, ritual itu tidak boleh ditunda karena bisa menimbulkan malapetaka berkepanjangan.

Di tengah kebingungan mencari pandhita pengganti itulah, Jaka Tarub tanpa sadar mengatakan bahwa Nawangwulan bisa menjadi pengganti pandhita untuk memimpin ritual pemujaan terhadap Bhatari Shri karena ia adalah putri seorang brahmana.

Setelah mengatakan itu, Jaka Tarub baru menyadari bahwa ia telah melanggar sumpahnya sendiri.

Saat itulah Nawangwulan marah. Meski akhirnya Nawangwulan bersedia memimpin ritual pemujaan kepada Bhatari Shri, tapi setelahnya ia memilih pergi dari Tarub, sesuai dengan sumpah yang telah diucapkan Jaka Tarub dulu.

Jaka Tarub sangat sedih dengan kenyataan getir yang dihadapinya. Namun ia hanya bisa pasrah. Senyatanya, Nawangwulan atau Rara Purwaci memang putri seorang brahmana dan tugasnya telah selesai setelah dari pernikahan dengannya melahirkan seorang putri yang diberinya nama Nawangsih.

Kelak, Nawangsih dinikahkan dengan Raden Bondan Kejawan—putra Prabu Brawijaya V—yang disebut-sebut sebagai lalajěr bhumi Jawa, yang akan melahirkan penguasa Jawa sesudah kehancuran Majapahit.

Ramalan itu pada akhirnya terbukti.

Meski rangkaian kisah di atas, yang saya rangkum dari novel sejarah yang ditulis Dhamar Shasahangka lebih rasional dan logis, namun hemat saya, kesahihan ceritanya masih perlu divalidasi dan verifikasi, terutama terkait sumber yang dirujuk.

Apalagi kisah itu juga masih problematis dan menyisakan pertanyaan, terutama bagaimana Jaka Tarub menikah dengan Rara Purwaci? Apakah cara Islam atau cara Hindu—agama yang dianut Rara Purwaci?

Apakah Rara Purwaci masih menganut Hindu atau sudah masuk Islam saat menikah dengan Jaka Tarub?

Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk menguji kisah perjalanan hidup sosok yang kini diyakini sebagai seorang wali. Wallahu a’lam.

Editor: Abu Fathan

Penulis dan citizen journalist yang menyukai (kajian) Islam, kuliner, dan sejarah.

Anda Mungkin Juga Menyukainya
Telah terbit buku GROBOGAN UNTOLD STORY

Mengupas cerita-cerita yang jarang diungkap menyangkut tokoh, tradisi, dan kuliner Grobogan

Promo Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau !

You cannot copy content of this page