
SmartGro – Pemkab Grobogan masih punya “PR” city branding. Tahun lalu, Pemkab Grobogan melalui Disporabudpar telah menggelar Lomba Desain Logo dan Slogan City Branding Grobogan. Tim juri pun telah menetapkan tiga karya terbaik sebagai pemenang 1,2, dan 3.
Tiga karya terbaik itu telah diumumkan pada Jumat (8/12/2023) dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) di Gedung Riptaloka Setda Grobogan.
Terbaik pertama slogan “Grobogan the Amazing of Java” karya Darsono dari Cirebon. Terbaik kedua slogan ”Grobogan Treasure of Culture” karya Jemmi Hadi S dari Samarinda. Terbaik ketiga slogan “Grobogan the Miracle of Charm” karya Mohammad Aditia Gilang Romadhoni dari Tegal.
Meski tiga karya terbaik itu hasil seleksi dari 210 karya yang masuk, namun ternyata, masih perlu kajian lanjutan, karena karya terbaik itu tidak otomatis dipilih sebagai city branding Grobogan.
Mengutip Murianews.com edisi Jumat (8/12/2023), Kepala Disporabudbar Grobogan Edy Santoso menjelaskan, tiga karya itu masih akan dikaji lebih lanjut sebelum memastikan logo dan tagline yang akan dipilih menjadi city branding Grobogan.
Sebab, meski dianggap terbaik, namun belum mewakili potensi Grobogan secara keseluruhan. Sehingga masih akan ada kajian lanjutan pada 2024 untuk penyempurnaan. Juga masih dimungkinkan ada perubahan tagline.
Bappeda Grobogan hingga kini, sebagaimana dirilis Murianews.com edisi Sabtu (20/4/2024), masih menggodok city branding Kabupaten Grobogan. Meski tahun lalu sudah menggelar sayembara dan telah ada pemenangnya, namun Bappeda Grobogan menilai belum ada yang benar-benar cocok.
Bappeda Grobogan menargetkan, pembahasan terkait branding Grobogan bisa rampung pada akhir tahun ini. Rencananya branding akan diluncurkan tahun depan pada momentum hari jadi.
Sejak awal perlombaan digelar, saya sudah menduga potensi pemenang city branding tak otomatis bisa pas sebagai branding Grobogan sangat besar. Menurut saya, sebuah perlombaan, brief-nya musti spesifik.
Dua lomba sekaligus (membuat slogan dan desain logo) dalam satu perlombaan, berpotensi overlap. Sangat tidak efektif. Sebuah karya bisa saja bagus dan menarik desain logonya, tapi slogannya tidak. Bisa pula sebaliknya.
Dengan begitu, logisnya, proses formulasi city branding dilakukan dua tahap. Pertama; perumusan slogan city branding, yang itu bisa melalui perlombaan atau dirumuskan oleh tim.
Dari dua pilihan proses itu, saya lebih setuju dirumuskan tim. Timlah yang bertugas menjaring ide, melakukan kajian, riset, diskusi, perdebatan, lalu merumuskan slogan yang pas dan menarik, yang benar-benar mempresentasikan jati diri Grobogan.
Pemkab Kudus saat membuat city branding baru, dari awalnya “The Taste of Java” menjadi “Kudus Kota Empat Negeri” juga tidak melalui perlombaan, tapi melalui kajian, riset, diskusi, bahkan perdebatan.
Mungkin Pemkab Kudus berkaca pada pemilihan branding sebelumnya yang melalui perlombaan. Hasil perlombaan, pemenang terpilih mengusung slogan “Kudus Menawan”. Tapi Menawan merupakan nama salah satu desa di Kudus.
Sehingga bila slogan itu dipakai, maka akan muncul kesan hanya satu daerah yang dipromosikan. Akhirnya, diusulkan slogan “The Taste of Java” atau Rasa Jawa dan slogan itu yang kemudian menjadi city branding Kabupaten Kudus.
Setelah slogan city branding ditetapkan, barulah tahap kedua dilakukan perlombaan membuat desain logo. Skema perlombaan seperti ini lebih clear karena brief-nya spesifik. Penjuriannya juga lebih efektif dan terfokus.
Skema itulah yang juga dilakukan Pemkot Solo. “Solo the Spirit of Java” merupakan slogan Kota Solo yang dibuat pada tahun 2005 dan disahkan pada tahun 2008.
Setelah tujuh belas tahun membuat slogan, pada 2022, Pemkot Surakarta melakukan perubahan logo dengan membuat kompetisi desain ulang logo “Solo the Spirit of Java”. Dari kompetisi ini, terpilihlah logo baru.
Tiga karya terbaik Lomba Desain Logo dan Slogan City Branding Grobogan telah ditetapkan. Saya setuju, ketiga karya terbaik itu tidak ada yang mempresentasikan jati diri Grobogan.
Sayangnya, dalam pengumuman lomba yang dibagikan situs disporabudpar@grobogan.go.id tidak lengkap informasinya. Pemenang hanya disebut nomor peserta, nama, dan alamatnya. Tidak hasil karyanya.
Harusnya, hasil karya nominasi maupun pemenang, meliputi slogan, desain logo, berikut makna filosofisnya, juga ditampilkan. Sehingga masyarakat Grobogan secara umum, yang ingin tahu hasil lomba, bisa mengaksesnya.
Sebagai sebuah slogan, “Grobogan the Amazing of Java” sebenarnya cukup menarik dan penuh greget. Namun bagi Grobogan, menurut saya, slogan ini abot sanggane. Terlalu berat.
Secara etimologis, amazing berarti luar biasa. Umumnya kata itu digunakan untuk mendeskripsikan objek yang memukau, yang ngedab-ngedabi.
Sementara, apa yang menakjubkan dan memukau dari Grobogan? Bila ditelesik, boleh jadi ada. Tapi sejauh ini, boleh dibilang baru tahap potensi.
Amazing itu musti riil, di depan mata, bisa dinikmati sebagai sesuatu yang benar-benar menakjubkan. Tidak sekedar cerita dan katanya. Sedang, menurut saya, Grobogan belum dalam posisi itu.
Slogan ”Grobogan Treasure of Culture” sebenarnya juga menarik. Grobogan dikenal sangat kaya budaya warisan leluhur. Sejak warisan kebudayaan berupa tradisi lisan, seni pertunjukan, adat-istiadat, maupun keterampilan tradisional. Bisa dicek dan diinventaris.
Namun, menurut saya, diksi dalam slogan itu kurang greget dan tidak simpel. Termasuk susah diingat, sehingga akan sulit pula masuk dalam bawah sadar.
Sementara slogan “Grobogan the Miracle of Charm” terlalu general. Sebagai sebuah slogan, keajaiban pesona itu terlalu umum, sehingga sangat tidak menarik. Lebih simpel dan greget justru kata “mempesona” saja.
Jadinya, “Grobogan Mempesona”
Tapi itu sudah diambil sebagai branding Kabupaten Jepara: “Jepara Mempesona”—yang ini sangat tepat dalam pilihan kata, juga dalam aspek rima.
Sebelum melakukan semua tahapan perumusan city branding, menurut saya, lebih bijak bila Pemkab Grobogan menjaring ide dan gagasan terlebih dulu dari masyarakat.
Ide dan gagasan dari masyarakat Grobogan terkait city branding itu dihimpun, lalu dikaji secara terbuka, intens dan mendalam. Bila memang dirasa tidak ada yang pas, baru pemkab melangkah dengan menggelar perlombaan atau membentuk tim khusus.
Saya setuju dengan salah satu juri, Prof. Diah Kristina, yang menilai logo harus memuat unsur rasa ingin memiliki atau sense of belonging.
Salah satu cara menumbuhkan sense itu, menurut saya, adalah dengan melibatkan masyarakat.
Sejauh yang saya baca, antusiasme masyarakat Grobogan terkait city branding cukup bagus. Munculnya ide dan gagasan dari masyarakat terkait city branding menunjukkan antusiasme itu.
Saya mencatat, setidaknya ada tiga wacana city branding yang muncul dan menjadi perbincangan hangat di masyarakat.
Pertama; wacana branding “Grobogan Bumi Pepali”. Ide branding ini, sejauh yang saya tahu, digagas oleh Kiai Rohib Sumowijoyo, yang ketika itu menjabat sebagai Ketua Lesbumi PC NU Grobogan.
Branding “Bumi Pepali” bahkan sempat mengemuka dan menjadi tema Konfercab PC NU Grobogan di Pondok Pesantren Sirajut Thalibin Brabo tahun 2022.
Tema yang diangkat ketika itu adalah “Membangun Kemandirian Jamiyyah dan Jamaah NU di Bumi Pepali Menuju Grobogan Hebat”.
Kedua; wacana branding “Grobogan Bumi Ki Ageng”. Ide branding ini, saya tahu, digagas oleh budayawan muda yang juga pendiri Candi Joglo, Muhadi.
Setidaknya, tahun 2018 saya sudah “dibisiki” wacana itu, saat saya dan pria yang kini akrab disapa Mpu Gandrung itu sama-sama aktif di komunitas Pelaku Wisata Grobogan.
Ide branding itu bahkan dikutkan dalam lomba yang diadakan Pemkab Grobogan melalui Disporabudpar tahun 2023 lalu. Namun tidak lolos.
Meski tidak lolos, Muhadi tetap bersemangat menggaungkan ide city branding-nya itu.
Ketiga; wacana branding “Grobogan Secret of Java”. Sejujurnya, saya tidak tahu siapa penggagas awal branding ini. Sejumlah orang mengklaim sebagai penggagasnya. Namun, saya tidak tertarik untuk membincangkan siapa penggagas pertamanya.
Saya lebih tertarik untuk memasukkan ide branding ini ke dalam daftar wacana city branding yang muncul dari dan oleh masyaraklat Grobogan sendiri.
Tiga wacana city branding itulah yang saya catat sebagai “upaya serius” masyarakat Grobogan untuk ikut merumuskan branding bagi daerah yang sangat dicintainya.
Akan menarik dan lebih bijak bila Pemkab Grobogan mengkaji dan menganalisis secara terbuka dan mendalam, mana dari ketiga ide slogan itu yang sekiranya tepat dipilih sebagai city branding Grobogan.
Toh realitanya, slogan city branding yang muncul di lomba juga (mohon maaf) begitu-begitu saja.
Ketiga wacana city branding yang muncul di masyarakat, saya akan coba mengkaji dan menganalisisnya, yang tentu versi saya, dengan segenap keterbatasan pengetahuan dan wawasan yang saya miliki.
Pertama-tama saya ingin menyampaikan bahwa ketiga ide slogan itu semuanya mendasarkan pada sejarah. Hal itu, menurut saya, menandakan bahwa Grobogan lebih kental dari sisi sejarahnya dibanding sisi yang lain.
Mari kita mulai mengkaji ide slogan yang pertama: “Grobogan Bumi Pepali”
Kata pepali dalam slogan “Grobogan Bumi Pepali” tentu merujuk pada serat pepali warisan Ki Ageng Selo—tokoh yang sangat legendaris bagi masyarakat Grobogan.
Pepali Ki Ageng Selo berisi ajaran luhur, tidak saja tentang akhlak mulia atau budi pekerti, tetapi juga mengandung pelajaran ilmu agama Islam yang terdiri dari 4 bagian, meliputi syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat.
Oleh Ki Ageng Selo, pepali disusun dalam bentuk lagu dan syair Dhandhanggula. Salinan lengkap pepali Ki Ageng Selo dalam bahasa Indonesia telah disusun oleh R.M. Soetardi Soeryohoedoyo dalam buku berjudul Pepali Ki Ageng Selo, diterbitkan CV. Citra Jaya Surabaya, cetakan pertama 1980.
Pepali sendiri berarti ajaran, petunjuk, atau aturan. Ada juga yang mengartikannya sebagai pedoman hidup.
Sangat menarik karena dalam perkembangannya, Polres Grobogan menjadikan pepali Ki Ageng Selo itu sebagai salah satu cara untuk mewujudkan Kamtibmas dengan pendekatan kearifan lokal.
Ada tujuh pesan dalam pepali, yang berkat program Polres Grobogan, pesan yang sesungguhnya hanyalah cuplikan dari serat Pepali Ki Ageng Selo itu, menjadi sangat populer di tengah masyarakat Grobogan.
Tujuh pesan dalam pepali itu adalah:
Aja agawe angkuh, artinya jangan berbuat angkuh;
Aja ladak lan aja jail, artinya jangan bengis dan jangan jail;
Aja ati serakah, artinya jangan berhati serakah (tamak);
Aja celimut, artinya jangan panjang tangan;
Aja buru aleman, artinya jangan memburu pujian;
Aja ladak, wong ladak pan gelis mati, artinya jangan angkuh, orang angkuh lekas mati;
Aja Ati Ngiwa, artinya jangan nyeleweng.
Dari kilas ulasan ini, kita memahami latar dan tujuan di balik upaya membawa pepali itu lebih menggema di Bumi Grobogan, salah satunya dengan menjadikannya sebagai slogan city branding.
Ide slogan ini juga menarik dan punya akar sejarah yang tak bisa dibantah. Hampir di setiap wilayah di Bumi Grobogan memang terdapat tokoh yang berjuluk “Ki Ageng”.
Sejak Ki Ageng Tarub, Ki Ageng Lembu Peteng, Ki Ageng Getas Pendowo, dan Ki Ageng Selo, hingga Ki Ageng Tirta, Ki Ageng Katong, Ki Ageng Jalalain, Ki Ageng Serang, dan banyak lagi.
Bahkan dari trah Ki Ageng di Grobogan juga kemudian lahir para raja Jawa di Kesultanan Mataram yang kemudian menjadi Kesultanan Jogjakarta dan Kasunanan Surakarta.
Arti Ki Ageng sendiri merujuk kepada seorang tokoh yang memimpin suatu daerah. Gelar Ki Ageng pada zaman dahulu disematkan kepada tokoh pendiri suatu daerah, yang memiliki kesaktian, dan mengajarkan nilai-nilai luhur kepada masyarakat.
Menurut Muhadi, sebagai penggagas slogan ini, semasa hidupnya para Ki Ageng di Grobogan telah terbukti memiliki pengaruh besar, menjadi teladan, mewariskan nilai-nilai adab dan budi pekerti serta perilaku berbudaya, sehingga menjadikan Kabupaten Grobogan sebagai kota budaya yang menyimpan kekayaan history dan filosofi tinggi.
Latar itulah yang menginspirasi Muhadi untuk menginisiasi branding Grobogan Bumi Ki Ageng. Kata Ageng dalam “Bumi Ki Ageng”, menurut Muhadi, juga mengandung makna Kabupaten Grobogan sebagai daerah yang besar, dalam arti luas wilayah, dan pernah memiliki sejarah peradaban besar pada masanya.
Lalu bagaimana dengan ide slogan “Grobogan Secret of Java”? Saya tidak tahu persis kapan ide slogan ini pertama muncul dan siapa penggagasnya. Tapi saya sudah tahu lama. Bahkan setahu saya, pernah ada yang menjual kaos bertuliskan “Grobogan Secret of Java”.
Tahun 2018 atau enam tahun lalu, dengan titi mangsa 2 Maret, channel YouTube Ekonomi Grobogan menayangkan film pendek ekonomi kreatif Kabupaten Grobogan dengan tajuk “Grobogan Secret of Java” yang sepertinya untuk keperluan lomba.
Film pendek itu menginformasikan sejumlah objek dan potensi wisata eksotis di Kabupaten Grobogan seperti Api Abadi Mrapen, Bledug Kuwu, Sendang Coyo, Air Terjun Gulingan, dan banyak lagi.
Situs https://pojokperekonomian.grobogan.go.id edisi Minggu (30/6/ 2019) merilis berita bertajuk “Stand Pemkab Grobogan Dinobatkan Jadi yang Terbaik dalam Destinasi Indonesia Expo 2019”.
Berita di situs itu mengabarkan stand Pemkab Grobogan dinobatkan sebagai stand terbaik dalam keikutsertaanya mengikuti Destinasi Indonesia Expo 2019 di Jakarta Convention Center (JCC) pada 27-29 Juni 2019.
Kabag Perekonomian Setda Grobogan, Pradana Setyawan menjelaskan, Destinasi Indonesia Expo 2019 menjadi bagian dari rangkaian acara Trisakti Tourism Award, suatu ajang penganugerahan destinasi pariwisata unggulan di Indonesia.
Dalam pameran itu, Pemkab Grobogan mengangkat tema Grobogan Secret of Java atau rahasia Grobogan di Jawa. Dalam stand ini ditampilkan potensi pariwisata dan ekonomi kreatif yang dimiliki Kabupaten Grobogan.
Seperti Api Abadi Mrapen, Bledug Kuwu, situs Banjarejo, garam Jono, pegunungan Kendeng Utara serta ekonomi kreatif sektor kriya berupa kerajinan kayu jati.
Video bertajuk Promo Grobogan Secret of Java itu bisa ditonton di channel Youtube Sabdha Langit.
Penggunaan slogan “Grobogan Secret of Java” oleh Pemkab Grobogan ini tentu sangat menarik. Karena dengan begitu, Pemkab Grobogan pernah mengakomodasi dan menjadikan slogan ini, meski hanya dalam sebuah event.
Kenapa tidak, slogan itu kemudian dikaji lebih dalam lagi kemungkinan untuk ditetapkan sebagai slogan city branding Grobogan?
Sejujurnya, saya lebih setuju dengan slogan ini. Menurut saya, slogan “Grobogan Secret of Java” tepat untuk city branding Grobogan. Setidaknya untuk saat ini.
Ide “Grobogan Bumi Pepali” dan “Grobogan Bumi Ki Ageng” bagus dan saya sangat setuju dan apresiatif dengan segala argumentasi dan pesan filosofisnya. Hanya saya menilai kurang tepat ketika dua ide itu diusung untuk dijadikan sebagai city branding resmi Grobogan.
Meski demikian, menurut saya, kedua ide slogan itu bisa memperkaya narasi branding Grobogan di luar branding yang resmi.
Bukankah Jogjakarta tetap populer dengan julukan Kota Gudeg dan Kota Pelajar, meski sudah menetapkan branding Jogjakarta Istimewa?
Grobogan bisa jadi juga akan mengalami. Sebutan Kota Swike dan Bumi Ki Ageng akan tetap melekat meski Pemkab Grobogan misalnya menetapkan slogan “Grobogan Secret of Java” sebagai branding resminya.
Mengapa memilih slogan “Secret of Java” ketimbang “Bumi Pepali” atau “Bumi Ki Ageng”. Berikut ini beberapa argumentasi yang bisa saya kemukakan:
Pertama; slogan “Bumi Pepali” dan “Bumi Ki Ageng” hemat saya tidak mewakili potret sejarah Grobogan secara umum lintas zaman.
“Bumi Pepali” malah lebih sempit karena hanya berbasiskan karya satu sosok—yang meski tak diragukan lagi kebesarannya, namun sejauh ini sosoknya hemat saya belum mewakili Kabupaten Grobogan secara khusus.
“Bumi Ki Ageng” meski lebih logis, namun slogan ini menurut saya hanya mewakili satu atau dua etape saja dalam perjalanan sejarah Grobogan.
Fakta sejarah lain, bahkan yang lebih dulu, seperti Banjarejo yang dimungkinkan di sana pernah berlangsung peradaban besar di masa Jawa Kuno, tidak terakomodasi.
Kedua; pilihan kata “Scret” menurut saya lebih memancarkan pesan kuat yang berbasis fakta sejarah, daripada amazing, misalnya. Seperti diketahui, fakta sejarah menunjukkan bahwa Ki Ageng Selo merupakan sosok penurun raja-raja di Jawa.
Dari keturunannya, berdiri Kesultanan Mataram Islam yang kini menjadi Kesultanan Jogjakarta dan Kasunanan Surakarta.
Fakta sejarah ini bisa dijadikan sebagai kekuatan memunculkan slogan city branding. Dan kata yang tepat untuk mewakili itu, menurut saya, ada pada kata “secret”. Artinya rahasia.
Ketiga disandingkan dengan Jawa (Java), maka city branding itu berbunyi “secret of Java” artinya rahasia Jawa. Dan Grobogan pantas dan sangat layak menyandang slogan itu.
Bila Surakarta atau Solo menyebut diri sebagai “The Spirit of Java” alias Jiwa Jawa, maka jangan lupa, akar sejarah dari “jiwa” itu berasal dari Grobogan.
Dan ketika Jogjakarta menyebut diri “istimewa”, maka jangan lupa, “keistimewaan” itu juga akar sejarahnya dari Grobogan.
Selama ini, Jogjakarta dan Surakarta disebut sebagai episentrum peradaban Jawa. Dan, tak terbantahkan, akar sejarah keduanya berasal dari leluhur Grobogan. Inilah scret yang bisa dijadikan sebagai kekuatan dalam sebuah slogan city branding: “Grobogan Secret of Java”.
Ketiga; Demak hanya ada makam satu wali (makam Sunan Kalijaga di Kadilangu) tapi bisa menyebut diri sebagai “Kota Wali”, kenapa tidak Grobogan menyebut diri “Bumi Ki Ageng”? Apalagi lebih banyak tokoh Ki Ageng yang dimakamkan di Grobogan?
Pertanyaan ini menunjukkan ketidakpahaman terhadap sejarah Demak. Di Demak memang hanya ada satu makam wali yang populer, yaitu makam Sunan Kalijaga di Kadilangu.
Tapi jangan salah, dalam sejarahnya, Masjid Agung Demak dibangun oleh Walisongo dan dijadikan episentrum syiar dakwah di Tanah Jawa, yang semua wali berkumpul di sini untuk membahas persoalan umat dan strategi dakwah.
Maka pantas dan sudah semestinya Demak mengusung slogan sebagai “Kota Wali”. Lalu apakah tidak layak Grobogan mengusung slogan “Grobogan Bumi Ki Ageng”? Sangat layak. Siapa bilang tidak layak. Tapi persoalannya bukan terletak pada layak atau tidak layak, tapi pada pilihan slogan yang dirasa lebih tepat.
Apalagi, slogan tidak seharusnya “menduplikasi” dari slogan daerah lain. Karena brand tidak saja harus berbeda, tapi juga memicu asosiasi yang kuat.
Rahmad Yunanda dan Ummi Salamah dalam buku Branding Tempat, Membangun Kota, Kabupaten, dan Provinsi Berbasis Identitas (Makna Infomrasi, 2014) menyatakan, sebuah kota dengan brand yang kuat mampu menjadi berbeda di antara kota lainnya.
Dengan branding, kota tersebut dapat memenangkan persaingan di antara kota lainnya karena mampu mengarahkan preferensi dan pilihan yang dimiliki oleh pemangku kepentingan kota tersebut.
Mengacu kepada upaya penguatan brand, slogan “Grobogan Bumi Ki Ageng” menjadi riskan ketika berhadap-hadapan dengan slogan “Demak Kota Wali”.
Apalagi dalam sejarahnya, para wali adalah guru para Ki Ageng. Sehingga potensi kemunculan “subordinasi” slogan menjadi kuat. Dan itu berpotensi menjadikan sebuah brand kehilangan kekuatannya.
Keempat; slogan “Grobogan Secret of Java” tidak hanya terkait leluhur Grobogan yang menurunkan raja-raja di Tanah Jawa, tapi juga terkait sejarah panjang yang dimiliki Grobogan di era Jawa Kuno. Desa Banjarejo menjadi simpul lokus berlangsungnya sejarah ini.
Sejarah Kerajaan Medang Kamulan di era Mataram Kuno boleh jadi hanya sekedar cerita foklor. Cerita Prabu Dewata Cengkar, Aji Saka, Jaka Linglung, dan Dora-Sembada dalam legenda terjadinya huruf Jawa, dan lain-lainya, yang dinisbatkan dengan Kabupaten Grobogan, boleh saja dibilang hanya cerita rakyat. Bisa jadi fiktif atau cerita simbolis.
Namun fakta penemuan spektakuler banyak artefak di Desa Banjarejo menunjukkan bahwa di wilayah ini pernah berkembang peradaban yang sudah sangat maju. Penemuan-penemuan itu sudah terjadi sejak era Hindia Belanda pada tahun 1935.
H. Moesin dalam buku Sejarah Dongeng Rakyat Medang Dewoto Cengkar Raja di Medang dan Joko Linglung Putra Aji Soko Raja di Medang Kamulan (1969) melaporkan penemuan benda-benda bersejarah di Dukuh Medang Kamulan, Desa Banjarejo pada 1935.
Penemuan itu dalam berbagai bentuknya seperti lempengan emas, aneka perhiasan emas, cepuk perunggu, guci, piring panjang kuno, dan lain sebagainya.
Fakta itu menunjukkan Grobogan menyimpan jejak sejarah yang sangat panjang sejak era Jawa Kuno.
Desa Banjarejo sendiri yang menjadi lokus terjadinya peristiwa bersejarah ini—telah dikukuhkan sebagai desa wisata pada 2016 lalu.
Dan pada Senin, 15 Agustus 2022, dua museum berbasis situs purbakala yaitu Museum Banjarejo dan Museum Situs Gajahan Sendang Gandri diresmikan oleh Bupati Grobogan, Sri Sumarni.
Berbagai argumentasi yang saya kemukakan di atas, mengantar saya pada pilihan “Scret of Java” sebagai city banding Grobogan. Terlepas tulisan ini tidak mengupas aspek perencanaan kota dan kepemimpinan (leadership branding).
Slogan “Grobogan Secret of Java” menurut saya tidak hanya keren dan memancarkan pesan yang kuat, tapi juga melampaui dari semua slogan yang ada.
Bila kita memilih “Scret of Java”, di dalamnya juga memuat cerita tentang bumi Ki Ageng, serat pepali, kota swike sebagai potret pergumulan Jawa-Tionghoa, bahkan lebih silam dari itu, bumi Medang di Banjarejo.
Tapi tidak bila memilih yang lain haha…
Editor: Abu Fathan
Penulis dan citizen journalist yang menyukai (kajian) Islam, kuliner, dan sejarah.
Mengupas cerita-cerita yang jarang diungkap menyangkut tokoh, tradisi, dan kuliner Grobogan
You cannot copy content of this page