160 x 600 AD PLACEMENT
160 x 600 AD PLACEMENT

Melacak Sejarah Langgar, Tempat Ibadah Umat Islam di Jawa Tempo Dulu

Masjid Sunan Kalijaga Kadilangu, Demak, tahun 1910. Awalnya juga dibangun dalam bentuk langgar. (Smartgro/universiteitleiden.nl)

Smart Gro – “Eh, salat boleh dilanggar lho…” Pernah mendapat seloroh seperti itu? Bagi orang Jawa, seloroh seperti itu benar adanya. Tapi penulisan di-nya dipisah, sehingga kata “langgar” menunjukkan tempat. Bukan bermakna seorang Muslim boleh melanggar perintah salat.

Antara Langgar dan Musala

Bagi Muslim Jawa, salat memang boleh di langgar. Langgar adalah istilah untuk menyebut masjid kecil di Jawa tempo dulu. KBBI VI mengartikan langgar sebagai “masjid kecil tempat mengaji dan bersalat, tetapi tidak digunakan salat Jumat; surau; musala.”

Istilah langgar sekarang jarang disebut. Masjid kecil yang banyak dijumpai di hampir tiap sudut kota dan desa, lebih populer disebut musala. Kalau di Sumatra Barat, utamanya Minangkabau, lazim disebut surau.

Jadi langgar dan musala, keduanya merujuk pada objek yang sama. Hanya saja, dulu, langgar umumnya terbuat dari kayu atau bambu serta berdinding papan atau gedhek (anyaman dari bambu).

Juga langgar dibangun di pekarangan rumah atau di pinggir kali (sungai) dengan konstruksi dibuat sistem rumah panggung. Lantainya terbuat dari papan.

Bentuk langgar umumnya kecil karena hanya menampung kebutuhan peribadatan warga sekitar yang dulu penduduknya masih jarang, belum padat seperti sekarang.

Adapun musala, istilah yang menggantikan langgar sekarang, dibuat sedikit lebih besar, bangunannya permanen, dengan jumlah yang lebih banyak.

Musala tidak hanya dibangun di sudut-sudut permukiman warga, desa maupun kota, tapi juga sudah menjadi kelengkapan umum kompleks bangunan seperti perkantoran, sekolah, kampus, mall, dan lain sebagainya.

Masjid Kadilangu, Demak, yang didirikan Sunan Kalijaga dulu juga awalnya dibangun dalam bentuk langgar. Begitu pula Masjid KH. Burham yang berada di Jengglong, Kota Purwodadi, Grobogan, dulu awal dibangun KH. Konawi tahun 1752 juga dalam bentuk langgar.

Seiring perkembangan zaman, renovasi, perluasan, dan perubahan, dari langgar ke masjid, menjadi kebutuhan karena semakin meningkatnya jumlah jemaah.

Sejarah Langgar, Diinisiasi Sunan Ampel?

Pertanyaannya, bagaimana bisa tempat ibadah kaum Muslimin itu diberi nama langgar? Tentu, ada sejumlah versi terkait asal-usul penamaan langgar. Salah satu versi disebutkan dalam buku berjudul Mazhab Dakwah Wasathiyah Sunan Ampel (Pustaka Iiman, 2021).

Alkisah, Raden Rahmat alias Sunan Ampel berangkat ke Majapahit. Setelah bertemu dengan Raja Majapahit dan istrinya, putri Campa, yang juga bibi Raden Rahmat, dia dibujuk untuk menetap di Jawa.

Dia mau dengan syarat ditempatkan di lokasi sekitar pesisir. Tempat itu adalah perkampungan yang sudah ditinggalkan oleh penduduknya sejak lama. Namanya Dukuh Ampel Gading.

Tempat itu kemudian dibabat dan dibuat menjadi permukiman baru. Di tengah proses pembersihan, Raden Rahmat menemukan sebuah kayu gading atau denta, yang kemudian dijadikan tongkat.

Karena itulah, tempat tersebut dinamakan Ampel Gading atau Ampel Denta—sebagaimana nama yang sudah dikenal sejak era Hayam Wuruk.

Pemukim awal di wilayah itu hanya Raden Rahmat bersama sekitar empat atau lima orang lainnya. Mereka membangun beberapa rumah. Mereka juga membangun langgar—sebagaimana penuturan naskah Hikayat Banjar dari abad ke-18.

Bangunan tersebut baru dianggap langgar, belum disebut masjid, karena belum digunakan salat Jumat.

Penamaan “Langgar” Sebagai Strategi Dakwah

Tempat ibadah tersebut dinamakan “langgar” terkait dengan strategi dakwah Raden Rahmat. Penganut Kapitayan—umat mayoritas ketika Sunan Ampel memulai dakwahnya—memiliki tradisi ritual menyembah Sang Hyang Taya, sesembahan tertinggi mereka.

Ritual itu mereka namakan “sembahyang” yang berarti “menyembah Sang Hyang Taya”. Ritual itu dilakukan di sebuah bangunan yang dianggap sakral bernama “sanggar”.

Bangunan itu konsepnya mirip dengan masjid dalam Islam. Keidentikan itulah yang kemudian dimanfaatkan penyebar Islam pada abad ke-14 dan 15—terutama oleh Sunan Ampel—sebagai sarana menyampaikan kebenaran Islam kepada masyarakat.

Istlah “sembahyang” digunakan untuk mengganti kata “salat”. Istilah “sanggar” disadur untuk menggantikan “masjid” atau musala”—yang secara harfiah berarti tempat untuk salat.

Haruf awal dalam istilah “sanggar” diganti dari “S” menjadi “L”, sehingga menjadi “langgar”. “La” dalam kata “langgar” diambil dari suku kata terakhir kata “musala”. Melalui terminologi inilah para wali mulai memasukkan unsur-unsur Islam pada kebudayaan lama.

Usaha para penyebar Islam dalam berdakwah memanfaatkan ajaran Kapitayan inilah yang mempermudah agama Islam diterima penduduk pada abad ke-14 dan 15.

Penduduk di luar keraton lazimnya memang lebih akrab dengan ajaran Kapitayan dibanding Hindu-Buddha—yang biasanya hanya dianut kalangan ningrat.

Lama-kelamaan, Ampel Denta menjadi ramai oleh orang-orang yang masuk Islam. Hingga akhirnya, hal itu diketahui Raja Majapahit.

Sang Raja ternyata memberi kebebasan beragama bagi penduduk Majapahit. Juga memberikan izin kepada Sunan Ampel untuk mengislamkan warganya.

Ketika Ampel Denta makin ramai, mulailah didirikan salat Jumat di sana. Langgar pun diperluas menjadi masjid. Dalam naskah Babad Gresik disebutkan bahwa Masjid Ampel dibangun pada tahun Saka 1368 atau 1446 M.

Editor: Abu Fathan

Penulis dan citizen journalist yang menyukai (kajian) Islam, kuliner, dan sejarah.

Anda Mungkin Juga Menyukainya
Telah terbit buku GROBOGAN UNTOLD STORY

Mengupas cerita-cerita yang jarang diungkap menyangkut tokoh, tradisi, dan kuliner Grobogan

Promo Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau !

You cannot copy content of this page