
SmartGro, Grobogan – Di Desa Katong, Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan, terdapat makam seorang tokoh aulia yang diyakini bernama Ki Ageng Katong.
Sejumlah literatur menyebutkan, Ki Ageng Katong atau Raden Bathara Katong merupakan tokoh aulia yang juga pendiri Kabupaten Ponorogo (Jawa Timur). Makamnya juga ada di sana, di Desa Setono, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo.
Bahkan makam Bathara Katong di Desa Setono termasuk destinasi wisata religi di Ponorogo yang tak pernah sepi dari peziarah.
Lalu, bagaimana larah-larahe, makam pendiri Kabupaten Ponorogo ini juga terdapat di Jawa Tengah? Melalui tulisan ringan ini, saya akan mencoba menelisiknya.
Raden Bathara Katong saat kecil bernama Raden Joko Piturun. Dia adalah putra Prabu Brawijaya V, Bhre Kertabumi, Raja Majapahit terakhir. Salah satu versi menyebutkan, Prabu Kertabhumi Brawijaya V Raja Majapahit mempunyai lima orang istri:
Pertama; putri Campa yang berputra seorang yang menjadi Raja di Pulau Bali (Kalungkung).
Kedua; putri seperti raksasa berputera Arya Damar yang menjadi Adipati di Palembang.
Ketiga; putri Cina yang berputera Raden Patah yang diangkat menjadi Adipati di Demak.
Keempat; Putri Pandan Kuning berputra Bondan Kejawan.
Kelima; Putri Bagelan berputra dua orang laki-laki, Raden Jaran Panoleh atau Lembu Kenanga dan Raden Lembu Kanigara atau Raden Katong.
Dari sekian banyak putera Prabu Brawijaya V, ada catatan yang menyebutkan bahwa ada dua orang putera Raja Majapahit terakhir itu yang diketahui masuk Islam lebih awal daripada yang lainnya. Keduanya adalah Raden Fatah dan Bathara Katong.
Suatu ketika, Raden Katong mendapat mandat untuk datang ke Wengker—sebelum bernama Ponorogo. Terjadi perbedaan pendapat di antara para penulis sejarah berkenaan dengan siapa yang memberi mandat Raden Katong untuk datang ke Wengker.
Setidaknya ada dua versi. Versi pertama; menyebut mandat diberikan Prabu Brawijaya V kepada Raden Katong untuk meredam pemberontakan atau pembangkangan yang dilakukan oleh Demang Suryongalam atau Ki Demang Kutu—pengusasa Wengker.
Versi kedua; menyebut mandat diberikan Raden Fatah, Sultan Demak, untuk melakukan pemetaan kondisi masyarakat di wilayah Wengker untuk keperluan penyebaran Islam.
Muh Fajar Pramono dalam buku Raden Bathoro Katong, Bapak-e Wong Ponorogo (2006) menyatakan, kedua versi itu tidak perlu dipertentangkan.
Dalam arti, motif Raden Katong ke Wengker yang masuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit, memiliki dua motif sekaligus: motif politik sekaligus motif agama.
Motif politik untuk mengingatkan Demang Suryongalam yang menunjukkan indikasi pembangkangan terhadap Majapahit.
Motif agama dalam rangka penyebaran agama Islam di Wengker atas mandat dari Raden Fatah, Sultan Demak.
Apalagi setelah Raden Bathara Katong menjadi Adipati di Wengker, dia punya kedekatan emosional dan struktural dengan Demak. Terbukti banyak para santri Kerajaan Islam Demak yang dikirim ke Ponorogo.
Adapun gelar “Bathara” yang diberikan kepada Raden Katong, terdapat sejumlah versi. Di antaranya gelar itu diperoleh dari Ki Ageng Prana atau Bhre Pandan Alas, dikenal sebagai Raja Brawijaya IV.
Ada juga versi yang menyebut gelar “Bhatara” diberikan Sunan Kalijaga.
Versi lain, sebagaimana yang disebutkan Rachmat Djatmiko dalam buku Wakaf Tanah (tt), nama “Bathara” yang melekat pada nama Katong adalah pemberian Raden Fatah sebagai upaya untuk memudahkan berdakwah di lingkungan masyarakat Wengker yang masih memeluk agama Hindu-Budha.
Mana versi yang benar? Wallahu a’lam.
Setelah menguasai seluruh wilayah Wengker dan hendak melaporkan hal itu kepada ayahandanya, Prabu Brawijaya V, tersiar kabar bahwa Majapahit sudah jatuh ke dalam kekuasaan Prabu Girindrawardhana dan pemerintahan dipusatkan di Keling/Kediri yang disebut Wilwatikta Dhaha Janggala.
Dari situlah, akhirnya terbentuk pemerintahan Ponorogo dengan Adipati Raden Bathara Katong dengan gelar Kanjeng Panembahan Bathara Katong.
Bathara Katong adalah sosok yang sangat dihormati masyarakat Ponorogo. Bhatara Katong adalah founding father Ponorogo. Tidak hanya sebagai pendiri Ponorogo, tetapi juga sosok yang berhasil mengubah kondisi Ponorogo yang primitif menuju masyarakat yang berperadaban.
Soal peristirahatan terakhir, hampir semua—untuk tidak mengatakan semua—literatur tertulis (buku) yang saya baca menyebutkan bahwa Raden Bathara Katong dimakamkan di Ponorogo.
Ahmad Hamam Rochani dalam buku Bhatara Katong, Dari Panaraga sampai Kaliwungu (2005) menyatakan, makam Bathara Katong ada di Ponorogo, berada di sebuah cungkup besar. Makam Bathara Katong berada di depan Masjid Setono.
Lalu bagaimana cerita tentang makam Ki Ageng Katong di Desa Katong, Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah?
Saat berziarah ke makam Ki Ageng Katong di Desa Katong, saya bertemu dengan Wakil Juru Kunci Makam Ki Ageng Katong, RT Jonggol Cundoko Budoyo atau yang akrab disapa Mbah Jonggol.
Dari penuturan Mbah Jonggol, terkonfirmasi bahwa antara Raden Bhatara Katong yang makamnya di Ponorogo dengan Ki Ageng Katong yang makamnya di Desa Katong merupakan sosok yang sama atau merujuk pada satu sosok.
Sehingga cerita tentang sosok Raden Bhatara Katong dan Ki Ageng Katong yang disampaikan Mbah Jonggol nyaris sama sebagaimana yang saya baca di sejumlah literatur, seperti terkait dengan silsilah, pemberian gelar Bathara, maupun terkait cerita kedatangan Raden Katong ke Wengker hingga mendirikan Kabupaten Ponorogo.
Perbedaan paling signifikan hanya terletak pada ending cerita. Menurut Mbah Jonggol, setelah mendirikan dan memimpin Ponorogo, Ki Ageng Katong menempuh perjalanan untuk menemui saudaranya seayah lain ibu, Raden Fatah, yang menjadi sultan di Demak.
Sebelum sampai Demak, Ki Ageng Katong sampai di sebuah tempat. Di tempat itulah Ki Ageng Katong babat alas membuat perkampungan baru.
Kampung itulah yang di kemudian hari disebut dengan nama Desa Katong, yang kini berada di wilayah Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.
Nama Katong yang menjadi nama desa tersebut memang dinisbatkan kepada sosok Ki Ageng Katong sebagai pendiri desa tersebut.
Menurut Mbah Jonggol, sepulang dari Demak, Ki Ageng Katong kembali ke kampung itu dan dituakan oleh penduduk di kampung tersebut yang semakin hari semakin ramai. Di tempat baru itulah Ki Ageng Katong mengembangkan syiar Islam.
“Ki Ageng Katong berada di tempat itu hingga wafatnya dan tidak kembali ke Ponorogo,” jelas Mbah Jonggol.
Hingga kini, masyarakat Desa Katong dan sekitarnya meyakini makam Ki Ageng Katong atau Raden Bhatara Katong berada di kompleks pemakaman umum Desa Katong.
Tahun 2010, makam Ki Ageng Katong diperbagus bangunannya dan pada Senin, 25 Oktober 2010, makam Ki Ageng Katong diresmikan oleh Bupati Grobogan ketika itu, H. Bambang Pujiono, SH.
Sejak saat itu, makin banyak peziarah yang datang ke makam ini. Wallahu a’lam.
Editor: Abu Fathan
Penulis dan citizen journalist yang menyukai (kajian) Islam, kuliner, dan sejarah.
Mengupas cerita-cerita yang jarang diungkap menyangkut tokoh, tradisi, dan kuliner Grobogan
You cannot copy content of this page