
Smart Gro, Grobogan – Hari Anak Nasional (HAN) yang diperingati setiap 23 Juli memiliki makna historis dan moral yang penting bagi bangsa Indonesia. Peringatan ini merujuk pada pengesahan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Anak pada 23 Juli 1979.
Setiap tahunnya, HAN menjadi momen reflektif untuk mengingatkan seluruh elemen masyarakat tentang pentingnya menjaga, melindungi, dan memenuhi hak-hak anak. Namun, di balik semangat peringatan ini, pertanyaan besar yang patut diajukan adalah: Sudahkah seluruh anak Indonesia merasakan kesejahteraan yang layak sejak awal kehidupannya?
Berdasarkan Buku Pedoman Peringatan HAN ke-41 Tahun 2025 yang dirilis oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), tujuan utama HAN adalah mendorong keterlibatan semua pihak—orang tua, pendidik, masyarakat, hingga pemerintah—untuk secara aktif mewujudkan lingkungan yang ramah anak.
Pemerintah menekankan pentingnya sinergi dalam menjamin pemenuhan hak anak atas pendidikan, kesehatan, perlindungan dari kekerasan, serta hak untuk didengar suaranya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “anak” memiliki beberapa definisi. Umumnya, anak diartikan sebagai keturunan kedua, manusia yang masih kecil, atau individu yang berasal dari kelompok tertentu.
Lebih dari sekadar definisi linguistik, anak adalah makhluk sosial yang berada dalam fase krusial untuk dibentuk secara fisik, emosional, dan moral. Mereka membutuhkan bimbingan dan perhatian penuh, baik dalam aspek akademik, sosial, maupun psikologis.
Anak sering kali disebut sebagai “buah hati” — ungkapan yang mencerminkan betapa berharganya mereka bagi orangtua. “Buah” berarti hasil atau anugerah, sementara “hati” merujuk pada pusat kasih sayang.
Maka, tak heran jika banyak pasangan rela menempuh berbagai ikhtiar—dari menjaga pola makan, mengikuti program kehamilan, hingga teknologi bayi tabung—demi memperoleh karunia seorang anak. Anak bukan sekadar keturunan biologis, tetapi juga sumber cinta dan harapan masa depan.
Namun, realitas sosial menunjukkan ironi yang menyedihkan. Di tengah semangat menyambut Hari Anak Nasional, masih banyak anak yang terlantar, diabaikan, bahkan menjadi korban kekerasan oleh orang terdekatnya. Kasus-kasus perundungan (bullying), kekerasan fisik, eksploitasi seksual, hingga penelantaran, masih terus terjadi dan menyita perhatian publik.
Salah satu contoh memilukan adalah kasus seorang siswa di Garut, Jawa Barat, yang diduga meninggal karena bunuh diri setelah mengalami perundungan. Kasus ini dilansir oleh Detik News pada Mei 2025 dan menjadi salah satu dari sekian banyak bukti bahwa anak-anak kita belum sepenuhnya terlindungi secara sistemik.
Lebih mengkhawatirkan lagi, anak-anak kini mulai tergerus oleh derasnya arus digitalisasi, khususnya melalui platform media sosial. Mereka dengan mudah meniru gaya bicara, ekspresi, bahkan tindakan yang mereka lihat di TikTok, Instagram, atau YouTube, tanpa tahu arti sebenarnya dari yang mereka lakukan.
Tak jarang, mereka mengucapkan kata-kata kotor, menampilkan joget-joget tidak sopan, hingga bergaya berlebihan demi “viral”.
Ironisnya, sebagian besar dari mereka hanya meniru tanpa pemahaman, karena minimnya pengawasan dan pembinaan digital dari lingkungan sekitar. Apa yang seharusnya menjadi ruang kreativitas, justru berubah menjadi ajang penyimpangan dan kemerosotan nilai budi pekerti. Jika ini dibiarkan, maka kita bukan hanya kehilangan arah pendidikan anak, tetapi juga kehilangan jati diri generasi mendatang.
Dilansir dari situs kpai.go.id, dalam konferensi pers laporan tahunan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2024 — Selasa, 11 Februari 2025, bahwa KPAI menerima 2.057 pengaduan kasus pelanggaran hak anak sepanjang tahun 2024.
Mayoritas kasus terjadi di lingkungan keluarga dan sekolah, yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak-anak. Ini menunjukkan bahwa perlindungan anak bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga menjadi tanggung jawab kolektif masyarakat.
Anak adalah generasi penerus bangsa. Jika mereka tidak dibesarkan dalam lingkungan yang aman, penuh cinta, dan edukatif, maka masa depan bangsa pun akan ikut terancam.
Dalam peringatan HAN, kita tidak cukup hanya merayakan dengan seremonial, senam, lomba, atau ucapan di media sosial. Lebih penting dari itu adalah aksi nyata: mendidik dengan cinta, melindungi dengan kesadaran, dan membimbing dengan keteladanan.
Hari Anak Nasional seharusnya menjadi pengingat kuat, bukan sekadar seremoni tahunan. Masyarakat harus berhenti bersikap reaktif terhadap kasus anak yang viral, dan mulai bergerak secara preventif dan berkelanjutan.
Orangtua harus menjadi pelindung pertama, sekolah sebagai ruang tumbuh aman, dan negara sebagai payung hukum yang adil. Anak-anak bukan milik pribadi, mereka adalah aset bangsa. Bila kita gagal menjaganya hari ini, maka jangan harap masa depan akan berpihak pada kita esok hari, karena kehilangan arah satu generasi berarti kehilangan harapan satu masa depan.
Seorang guru SD, blogger, dan aktif sebagai Ketua Bidang Kesekretariatan dan Keanggotaan Forum Silaturahmi Penulis Grobogan (FSPG). Buku terbarunya berjudul "Mencari Arti Kata: Antologi Cerpen Pembelajaran Bahasa Inggris" (CV. Hanum Publisher, 2025).
Mengupas cerita-cerita yang jarang diungkap menyangkut tokoh, tradisi, dan kuliner Grobogan
You cannot copy content of this page