
Smart Gro, Grobogan – Pecel adalah boga yang sangat populer dalam khazanah pustaka kuliner Jawa. Pecel termasuk sajian kaya nutrisi karena terbuat dari sayuran rebus yang diguyur sambal kacang. Dalam sejarahnya, pecel sudah dikonsumsi masyarakat Jawa sejak lama.
Bahkan, kata pecel sudah disebut-sebut dalam naskah Jawa kuno pada abad ke-14 M yang menyebut sayuran dengan saus pedas. Dalam Serat Centhini—sebuah naskah dari awal abad ke-19—juga menyebut-nyebut pecelan.
Sebagai sajian berbasis sayuran, pecel boleh dibilang menjadi “makanan semua kalangan” yang bisa dijumpai di hampir semua daerah di Jawa. Bahkan, sejumlah daerah di Jawa dikenal memiliki pecel khas masing-masing. Nomenklaturnya diambil dari bahan yang dipakai atau asal daerah atau tempatnya.
Nama pecel yang berasal dari bahan yang dipakai di antaranya pecel pakis khas Kudus dan pecel semanggi khas Surabaya. Disebut pecel pakis karena salah satu sayurannya adalah daun pakis yang banyak ditemui di area pegunungan Muria. Begitupun pecel semanggi, disebut demikian, karena memang menggunakan daun semanggi sebagai sayuran di pecelnya.
Adapun pecel yang berasal dari asal daerah atau tempatnya di antaranya ada pecel Madiun, pecel Blitar, pecel Ponorogo, pecel Kediri, dan pecel Gambringan. Yang disebut terakhir, pecel Gambringan, populer sebagai kuliner khas Grobogan, Jawa Tengah.
Disebut pecel Gambringan karena awalnya pecel ini dulu dijajakan di Stasiun Gambringan, sebuah stasiun kereta api yang terletak di Dusun Pucang Kidul, Kecamatan Tambirejo, Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan.
Sekitar tahun 1940-an, diketahui puluhan warga Tambirejo—sejumlah sumber menyebutkan lebih dari lima puluh orang, yang kebanyakan kaum ibu—menjajakan nasi pecel di dalam kompleks Stasiun Gambringan. Sehingga nasi pecel itu masyhur dengan sebutan sega pecel Gambringan atau biasa disingkat SPG.
Sebuah foto jadul koleksi Stasiun Gambringan sekitar tahun 1980-an menunjukkan para perempuan dari Desa Tambirejo sedang menjajakan nasi pecelnya dengan menggendong dunak, sebuah bakul besar yang terbuat dari anyaman bambu, atau dengan menyunggi tampah, sebagai tempat nasi dan pelengkap pecelnya, di dalam kompleks Stasiun Gambringan.
Foto lainnya menunjukkan suasana para penjual nasi pecel Gambringan sedang melayani para pembelinya yang kebanyakan laki-laki di antara gerbong dan rel kereta api di Stasiun Gambringan.
Tahun 2012, PT KAI mengeluarkan regulasi yang melarang penjual makanan dan minuman serta dagangan lainnya masuk ke dalam kompleks stasiun. Regulasi itu membuat para penjual sega pecel Gambringan tak lagi bisa berjualan di dalam stasiun. Padahal Stasiun Gambringan telah menjadi lokus berjualan mereka selama puluhan tahun.
Sejak saat itulah, penjual sega pecel Gambringan mencari lokus-lokus baru untuk berjualan di luar stasiun. Ada yang bertahan berjualan di sekitar stasiun, meski di luar; ada pula yang mencari peruntungan dengan membuka kedai dan lapak di tempat-tempat yang sama sekali baru dan jauh dari stasiun, di antaranya di dalam Kota Purwodadi—ibu kotanya Kabupaten Grobogan.
Tidak adanya penjual sega pecel Gambringan, membuat banyak penggemarnya merasa kehilangan. Menikmati lezatnya sepincuk sega pecel Gambringan di kompleks stasiun atau di dalam gerbong kereta menjadi tinggal kenangan. Menjadi nostalgia yang seringkali membuncahkan kerinduan tersendiri.
Meski tak boleh lagi berjualan di dalam stasiun dan gerbong kereta, tak serta merta menjadi “kiamat” bagi puluhan penjual sega pecel Gambringan dari Desa Tambirejo. Mereka tetap eksis di lokasi-lokasi baru. Bahkan sega pecel Gambringan makin populer dan diburu.
Selain bermunculan di sudut-sudut Kota Purwodadi dan di beberapa kecamatan di Kabupaten Grobogan, para penjual sega pecel Gambringan juga merambah ke kabupaten lain, seperti Demak dan bahkan mulai banyak dijumpai di kota Semarang.
Mereka, selain para alumni penjual sega pecel di kompleks Stasiun Gambringan, juga para pendatang baru yang mencoba peruntungan dengan berjualan sega pecel Gambringan. Salah satu pendatang baru itu adalah Mbah Sri (60), warga Purwodadi yang sudah sejak tahun 1985 tinggal di kota Semarang.
Mbah Sri diketahui mulai berjualan sega pecel Gambringan di Jalan Anjasmoro Raya, Semarang, sejak tahun 2016. Sebelum memutuskan berjualan sega pecel Gambringan, Mbah Sri adalah seorang bakul belanjan—pedagang keliling yang melayani ibu-ibu di sejumlah kompleks perumahan aneka kebutuhan dapur seperti sayur-sayuran, ikan-ikanan, tahu, tempe, dan sebagainya.
Mbah Sri yang bernama lengkap Sri Minarti memutuskan berjualan sega pecel Gambringan karena merasa mempunyai skill membuat sambal pecel Gambringan. Skill itu diwarisi dari almarhum neneknya yang asli Desa Tambirejo dan juga pernah berjualan nasi pecel di Stasiun Gambringan.
Menurut Mbah Sri, membuat sambal pecel Gambringan musti memiliki kemampuan instingtif menakar komposisi antara kacang tanah dan gula merah. Bila komposisinya tepat, maka akan menghasilkan sambal pecel Gambringan yang enak dan sedap dengan cita rasa manis yang pas alias tidak terlalu dominan.
Mbah Sri mengaku, setelah sekira enam tahun berjualan nasi pecel Gambringan, mulai banyak pelanggannya yang berdatangan, baik pelanggan dari dalam kota Semarang, maupun luar kota Semarang seperti Kendal. Dalam dua atau tiga hari, Mbah Sri setidaknya menghabiskan 20 kg sambal pecel yang diraciknya sendiri.
Sambal pecel Gambringan umumnya dibuat tanpa penyedap rasa. Cita rasanya otentik, murni dari bumbu rempah meliputi kencur, bawang, dan daun jeruk—yang dipadu dengan kacang tanah dan gula merah. Adapun sayurannya, yang khas dari sega pecel Gambringan adalah bunga turi dan daun pepaya, dipadu dengan kecambah.
Lauk pelengkap menyantap sega pecel Gambringan, selain gorengan seperti bakwan dan mendoan, namun yang otentik sejak dulu adalah rempeyek. Di warung Mbah Sri, selain aneka gorengan, juga tersedia rempeyek meliputi rempeyek grasak atau ebi dan rempeyek kacang. Bila rempeyeknya habis, ada kerupuk gendar sebagai penggantinya yang tak kalah sedap dan kriuk.
Keistimewan lainnya adalah pada cara penyajiannya yang masih otentik sejak dulu, yaitu dengan pincuk dari daun pisang. Atau sekarang ada modifikasi di piring lidi yang dialasi daun pisang. Gaya penyajian seperti itu menambah cita rasa makin sedep dan nyamleng tenan.
Lokasi warung tenda Nasi Pecel Gambringan Mbah Sri termasuk strategis. Di pinggir Jalan Raya Anjasmoro, tepatnya di seberang Rumah Makan Nasi Ayam Bu Pini Jalan Anjasmoro Raya 56B, Semarang.
Tapi bila ingin bernostalgia menikmati nasi pecel Gambringan dengan nuansa Stasiun Gambringan—dengan sesekali terdengar suara deru kereta api, maka pilihannya adalah di Warung Pecel Mbak Yayuk. Warungnya persis berada di belakang Stasiun Gambringan.
Pemilik warungnya bernama Sri Rahayu atau biasa dipanggil Mbak Yayuk. Ia telah berjualan sega pecel Gambringan sejak sekira delapan belas tahun lalu—meneruskan tradisi ibu dan neneknya yang juga penjual sega pecel Gambringan.
Warung milik Mbak Yayuk ini menjadi jujugan para penggemar sega pecel Gambringan yang ingin bernostalgia menyantap sepincuk sega pecel Gambringan di lokasi yang tak jauh dari Stasiun Gambringan, tempat kuliner ini berasal.
Menurut Mbak Yayuk, kondimen sayuran yang menjadi ciri khas sega pecel Gambringan adalah daun pepaya, bunga turi, dan yang musiman adalah kecipir muda. Lalu pelengkap menikmati sega pecel Gambringan yang paling populer di masa lalu selain kripik tempe adalah rempeyek udang dan ikan wader.
Namun karena penjual sega pecel Gambringan makin berkurang, terutama sejak regulasi baru PT KAI, maka nelayan yang biasa menjadi pemasok udang dan ikan wader juga berkurang, hingga pada akhirnya kini sudah tidak ada lagi. Sebagai gantinya, para penjual sega pecel Gambringan menggantinya dengan ebi atau grasak yang banyak dijumpai di pasaran.
Salah seorang yang memiliki kenangan menikmati sega pecel Gambringan di atas kereta api adalah Sona Romaya, seorang pencinta dunia perkeretaapiaan atau yang populer disebut railfans. Yaya, begitu Sona Romaya biasa disapa, bercerita sering menikmati sega pecel Gambringan saat naik KA Fider Tawang Jaya jurusan Bojonegoro-Semarang. Ia naik KA Fider Tawang Jaya dari Stasiun Kradenan dengan tujuan Brumbung (Mranggen). Saat di kereta api itulah ia sering menikmati lezatnya sega pecel Gambringan.
Kenangan itu mengguratkan kesan tersendiri bagi Yaya, sebuah kesan yang sangat mendalam. Apalagi kalau sedang hujan, bagi Yaya itu adalam momen di mana sega pecel Gambringan selalu membuncahkan kenangan, memantiknya untuk bernostalgia.
Penulis dan citizen journalist yang menyukai (kajian) Islam, kuliner, dan sejarah.
Mengupas cerita-cerita yang jarang diungkap menyangkut tokoh, tradisi, dan kuliner Grobogan
You cannot copy content of this page