
Smart Gro – Hari raya Iduladha 1445 H sudah di pelupuk mata. Tahun ini, Iduladha jatuh pada hari Senin, 17 Juni 2024. Bagi kaum Muslimin, Iduladha identik dengan Idulqurban, atau hari raya yang ditandai dengan penyembelihan hewan kurban.
Berikut ini, secara ringkas kami ketengahkan fiqh udhhiyah atau fikih kurban yang kami kutip dari kitab al-Fiqhu asy-Syafi’i al-Muyassar karya Prof. Dr. Wahbah Zuhaili sebagai panduan untuk pelaksanaan kurban, pengolahan, dan distribusinya.
Kata udhhiyah diambil dari kata dhuhâ yang berarti matahari meninggi karena hewan kurban disembelih pada waktu tersebut. Menurut syara’, kurban adalah hewan ternak yang disembelih sebagai wujud pengabdian kepada Allah Swt pada waktu tertentu.
Sumber hukum kurban sebelum adanya ijma’ (kesepakatn) ulama adalah firman Allah Swt, “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2).
Dan sabda Rasulullah Saw, “Tidak ada amalan anak cucu Adam pada Iduladha yang lebih dicintai oleh Allah daripada mengalirkan darah hewan. Ia pasti didatangkan pada Hari Kiamat berikut tanduk dan kakinya. Darah kurban akan menetes di suatu tempat yang dikehendaki Allah, sebelum jatuh ke tanah. Jadi, ikhlaskanlah kurban kalian.” (HR. Al-Hakim, Ibnu Majah, dan at-Tirmidzi, hadis tersebut hasan dan gharib, diriwayatkan dari Aisyah).
Anas bin Malik Ra meriwayatkan dalam sebuah hadis, “Rasulullah berkurban dua ekor kambing kibas berwarna putih dan bertanduk. Aku melihat beliau menempelkan kedua telapak kakinya ke atas leher bagian samping keduanya sambil baca basmalah dan takbir, lalu menyembelih kambing tersebut dengan tangannya sendiri.”
Anas bin Malik Ra melanjutkan, “Aku telah berkurban dengan kedua hewan tersebut (dua kambing kibas).”
Para ulama telah menyepakai pensyariatan kurban. Hukum kurban sunah muakad yang bersifat kifayah, berdasarkan sejumlah hadis.
Kurban tidak wajib, berdasarkan hadis Abu Bakar dan Umar Ra bahwa mereka berdua tidak berkurban karena khawatir kurban dipahami sebagai suatu kewajiban.
Dalam hadis ad-Daruquthni, “Kurban telah diwajibkan kepadaku, namun ia bukan suatu kewajiban bagi kalian. Jika salah seorang anggota keluarga telah melaksanakan kurban, itu sudah cukup bagi mereka, meskipun ia disunahkan kepada setiap orang.” Apabila mereka tidak berkurban, maka semuanya dikenai hukum makruh.
Hukum kurban menjadi wajib jika disertai nazar. Misalnya seperti ucapan seseorang, “Kurban ini wajib bagiku dan kupersembahkan untuk Allah” atau “Wajib atasku untuk mengurbankan hewan ini” atau dengan cara mengkhususkan, seperti pernyataan “Ini adalah hewan kurban” atau “Aku jadikan hewan tersebut sebagai kurban.”
Waktu kurban dimulai setelah matahari terbit pada hari Iduladha, kira-kira setelah berlalu waktu yang cukup untuk melaksanakan salat dua rekaat dan dua khutbah.
Waktu penyembelihan hewan kurban berlangsung sampai dengan akhir hari Tasyriq (13 Zulhijah). Penyembelihan hewan kurban sebelum matahari terbit hukumnya tidak sah.
Ketentuan di atas sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh al-Barra’ bin ‘Azib Ra, dia berkata, “Rasulullah berkhutbah setelah salat Iduladha. Beliau bersabda, “Siapa yang melakukan salat seperti salat kita ini, lalu menyembelih kurban seperti yang kita lakukan, dia telah memenuhi sunahku. Siapa yang menyembelih sebelum mengerjakan salat seperti yang kita lakukan, hewan itu kambing potong (bukan kurban). Hendaknya dia menyembelih di tempat hewan itu berada.” (HR. Jemaah).
Ketika masuk bulan Zulhijah, orang yang hendak berkurban disunahkan untuk tidak memotong rambut dan kukunya sampai proses penyembelihan hewan kurban selesai. Jika perbuatan tersebut dilakukan, hukumnya makruh tanzih, berdasarkan hadis Ummu Salamah, Rasulullah Saw bersabda, “Jika kalian melihat hilal (bulan tanggal satu) bulan Zulhijah, sementara seseorang dari kalian akan berkurban, hendaklah dia tidak memotong rambut dan kuku-kukunya.” (HR. Jemaah selain Bukhari).
Hikmah larangan memotong rambut dan kuku ialah membiarkan seluruh anggota tubuh tetap dalam kondisi utuh, untuk dimerdekakan dari api neraka.
Hewan yang dapat dijadikan kurban ialah hewan ternak, seperti unta, sapi, dan kambing. Allah Swt berfirman, “Agar mereka menyebut nama Allah atas binatang ternak yang dianugerahkan-Nya kepada mereka.” (QS. Al-Hajj: 34).
Hewan ternak yang boleh dijadikan kurban adalah domba berumur setahun, kambing bandot berumur dua tahun, unta, dan sapi.
Jika diurutkan, hewan kurban yang paling utama adalah unta (badanah), kemudian sapi betina, domba, dan terakhir kambing betina. Namun, kurban tujuh ekor kambing lebih utama daripada seekor unta.
Lebih diutamakan hewan kurban yang berwarna putih, kemudian kuning, lalu al-ghabra’ (putih kekuning-kuningan), lalu al-balqa’ (belang, hitam putih), kemudian hitam, dan terakhir merah. Menurut al-Mawardi, ternak berwarna merah lebih diutamakan daripada al-balqa’. Keutamaan tersebut diukur berdasarkan kelezatan dagingnya.
Tujuh orang boleh patungan untuk berkurban seekor unta atau seekor sapi, sesuai hadis Jabir Ra, “Rasulullah menyuruh kami patungan untuk berkurban unta atau sapi. Setiap tujuh orang kurbannya seekor unta.” (Mutafaq ‘alaih).
Pertama; syarat hewan kurban unta telah berumur lima tahun, sapi dan kambing bandot masing-masing sudah berumur genap dua tahun, sedangkan domba syaratnya telah beumur setahun.
Kedua; hewan tidak cacat. Misalnya tidak berkudis meskipun sedikit, tidak pincang yang parah, tidak terlalu kurus (kerempeng), tidak gila, tidak buta baik kedua mata atau salah satunya, tidak menderita penyakit yang dapat merusak dagingnya, tidak ada anggota tubuh yang terputus meskipun secuail seperti telinga, lidah, puting susu, pantat, atau bagian pahanya yang tampak, dan seluruh giginya tidak lepas.
Semua ketentuan tersebut termaktub dalam hadis al-Barra’ bin ‘Azib Ra, dia berkata, “Rasulullah berdiri di hadapan kami, lalu bersabda, ‘Ada empat hewan ternak yang tidak boleh dijadikan kurban, yaitu hewan yang jelas buta sebelah matanya, sakit yang sangat parah, pincang yang jelas membengkokkan tulang rusuknya, dan hewan yang telah berumur tua yang telah kehilangan dagingnya’.” (HR. Lima Periwayat hadis).
Ketiga; hewan tersebut diniati untuk berkurban saat disembelih atau sebelumnya. Menentukan hewan tertentu untuk kurban tanpa disertai niat berkurban belumlah cukup. Niat dan penyembelihan kurban boleh diwakilkan kepada orang muslim yang telah tamyiz.
Seseorang tidak boleh menyembelih hewan kurban tanpa izin pemiliknya yang masih hidup atau telah meninggal yang tidak berwasiat demikian. Hal ini berdasarkan ayat, “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. an-Najm: 39). Ketentuan ini berbeda dengan pendapat Mazhab Hanafi dan Hanbali.
Daging kurban wajib disedekahkan dalam keadaan mentah. Orang yang berkurban boleh memakan sebagiannya. Allah Swt berfirman, “Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (QS. Al-Hajj: 36).
Tidak boleh menjual daging kurban, baik kurban nazar maupun sunah. Seluruh daging kurban dan hewan yang telah dikhususkan untuk kurban, misalnya orang yang berkurban berkata, “Ini adalah hewan kurban” dan kurban wajib yang telah menjadi tanggungan, wajib disedekahkan kepada orang-orang fakir.
Orang yang berkurban dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya tidak boleh memakan daging kurban (nazar) tersebut. Apabila dia memakannya, dia harus mengganti sebanding dengan daging kurban yang dimakan.
Orang yang berkurban dianjurkan memakan, menghadiahkan, dan menyedekahkan sebagian dagingnya. Sepertiga dimakan, sepertiga dihadiahkan, sepertiga lainnya disedekahkan. Namun, wajib menyedekahkan sebagian daging kurban sunah meskipun sedikit.
Kulit hewan kurban boleh disedekahkan atau dimanfaatkan sebagai perabot rumah, namun tidak boleh dijual. Daging kurban juga tidak boleh dijual sedikitpun.
Hewan kurban lebih utama (afdhal) disembelih sendiri. Jika dia tidak bisa menyembelih sendiri, boleh menyerahkan penyembelihannya kepada tukang jagal atau orang yang biasa memotong hewan kurban.
Editor: Abu Fathan
Penulis dan citizen journalist yang menyukai (kajian) Islam, kuliner, dan sejarah.
Mengupas cerita-cerita yang jarang diungkap menyangkut tokoh, tradisi, dan kuliner Grobogan
You cannot copy content of this page